Meski harus berjalan kaki di bawah terik pukul 1 siang itu, beruntung kami hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di TPS 9, lokasi nyoblos kami pagi sebelumnya. Tak seperti pileg April lalu yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Rasa penasaran mengantarkanku dan papa berniat nongkrongin perhitungan suara pilpres di TPS kami. Awalnya aku sempat kuatir kehadiran kami tidak akan disukai. Mengingat isu money politic dari salah satu capres sempat santer merebak selama masa kampanye, tidak menutup kemungkinan itu terjadi pula pada lingkaran terdekat penyelenggara. Apalagi kenyataan bahwa kami adalah minoritas yang kerap 'disingkirkan' dari arena politik meski hanya ingin jadi penonton. Lokasi TPS yang begitu hening membuat kedatangan kami menarik perhatian semua petugas KPPS. Tidak terlihat warga sama sekali di sana. Hanya para petugas yang seketika memandang ke arah kami dengan mimik surprised. Selama sepersekian detik itu adalah awkward moment. Entah kenapa lagu "Pelangi di Matamu" mengalun di kepalaku sebagai soundtrack. Dengan konyol mulai bertanya-tanya, "ngapain ini kaki gua ikut-ikutan diem juga.?" Tanpa sadar aku tersenyum gaya bit*h please. Ini pertama kalinya aku peduli pada hasil pemilu.
"Sini.. sini.. mau lihat hitung suara, ya?" celetuk salah satu petugas. Suasana seketika cair. Kudengar papa beramah-ramah meminta ijin menonton proses perhitungan suara yang memang baru akan dimulai. Petugas kembali sibuk dengan tugasnya mengatur format meja bangku serta alat-alat tulis ketika kami ambil posisi duduk manis di area TPS. Aku pun sempat bergurau dengan salah seorang petugas yang ternyata teman semasa SD (jiahh, reuni). Seorang petugas membuka gembok kotak suara di bawah tatapan kami. Menuangkan semua isinya di atas meja sebelum memamerkan bagian dalam kotak, meyakinkan hadirin seluruh isi kotak itu tak ada lagi yang bersisa di sana. Beberapa orang mengumpulkan kertas suara yang berserakan di meja, lalu membaginya dalam tumpukan berisi masing-masing 50 lembar surat suara.
Perhitungan suara segera dimulai. Satu orang membuka lembaran-lembaran kertas suara dengan mimik tegang. Sekitar 1 meter di depannya, berdiri seorang yang bertugas melihat dan menyebutkan kertas bagian gambar capres mana yang dicoblos. Di hadapan mereka, 5 orang saksi termasuk dari masing-masing perwakilan capres mengamati dengan mimik sama tegangnya. Tiba-tiba, interupsi. Seorang yang duduk di meja saksi di hadapan mereka menyeletuk,
"Pake mic, dong. Biar kedengeran jelas."
"Enggak usah, lah. Udah, cepet mulai aja." sahut yang lain
"Pake, dong. Capek-capek saya pinjem sound system ke blok D." hehehe. aku meringis.
"Ga usah kenceng-kenceng. Kan sepi."
"Yah makanya, biar warga sekomplek denger. Biar pada dateng." akhirnya semua mengangguk.
Peralatan sound system dinyalakan. Dengan mic di tangan petugas mulai 'menyalak' : "Satu. sah." "Dua. Sah" yang langsung diterjemahkan ke dalam kolom-kolom kertas "laporan perhitungan suara" yang ditempel pada sebuah white board. Seorang petugas menunjuk kolom yang harus diisi, seorang lagi bertugas menulis simbol pagar, 1 untuk tiap suara. Aku merekam semua aktivitas itu dalam video dengan kamera ponsel. Benar saja, tidak lama beberapa warga mulai berdatangan.
Hasil perhitungan masing-masing capres sejak mula memang imbang meski no. 1 tidak pernah menyalip no. 2. Aku memperhatikan ekspresi wajah petugas yang membuka lembar lipatan surat suara. Tiap kali suara untuk No. 2 disebut, matanya berbinar-binar dengan senyum senang yang tidak bisa dibuat-buat, hal yang terjadi kebalikannya kalau suara yang dibacakan untuk No. 1. Aku diam-diam tertawa dalam hati. See? Kita tidak pernah benar-benar bisa tidak memihak.
Seorang ibu yang baru saja datang dengan santainya tiba-tiba menyeletuk,
"Di tipi tadi saya lihat yang menang no. 1" waduh, ganggu konsentrasi aja nih si ibu.
"Ibu nontonnya tipi mana dulu?" seorang bapak spontan balas menyeletuk disusul guruh tawa hadirin. Wah, ternyata warga desa pun sudah cermat terhadap informasi, rupanya.
Lain waktu, ketika no. 1 mulai masif menyusul perolehan no. 2, seorang bapak di dekatku menyeletuk, "Itu pasti habis dikasih pulsa sama Prabowo, tuh." hadirin tertawa lagi. Aku memperoleh kesan nafas demokrasi yang dijunjung tinggi di sini. Meski keluar komentar nyinyir, tapi tidak membuat mereka tidak menghormati refleksi amanah rakyat dalam surat suara yang sedang dihitung. Yang lucu, justru ketika para petugas mendapati surat suara tidak sah. Kesal bukan main terlihat di wajah dan dari komentar spontan mereka. Ada 4 surat suara tidak sah. Satu karena tidak dicoblos. Satu karena dicoblos pada kedua capres, dicoblos di antara kedua capres dan ada juga yang mencoblos logo KPU. "Bisa nyoblos ga, sih?", "Ini pasti kerjaan orang bingung.", atau "Dia pasti terlalu cinta sama KPU". Hahaha. Well, setidaknya mereka berusaha datang ke TPS alih-alih memilih menyianyiakan suara mereka, kan?
Proses perhitungan suara selesai dalam waktu 2 jam. Aku sempat memotret hasil akhirnya setelah ditandatangani seluruh petugas dan saksi serta langsung mengunggahnya ke sosial media. Dari 462 orang dalam daftar DPT, 130 orang datang untuk memberikan suara bagi capres no.1, 168 suara untuk capres no.2, dengan 4 buah surat suara tidak sah. Meski angka golput masih mengalahkan perolehan capres no.1., ku merasa sangat lega. Tidak ada sama-sekali indikasi kecurangan seperti yang dicemaskan banyak orang. Semua pihak menerima hasil perhitungan dengan lapang dada.
Hari itu aku menyadari beberapa hal baru. Terbukti dengan kemenangan tipis pada capres no.2, warga di TPS itu memiliki semangat keberagaman yang seimbang, yang juga dibarengi kebijaksanaan untuk menerimanya dengan penuh tanggung jawab sebagai amanat. Hasil pemilu kali ini juga mencerminkan bahwa suara rakyat tidak bisa diarahkan. Seandainya isu tentang money politic itu benar dan berpengaruh, perbedaan suara bisa jadi begitu tajam. Melihat betapa kritis dan ringannya mereka menyikapi arus informasi. Betapa senangnya capres jagoanku menang. Tapi aku lebih senang lagi karena baru saja melihat sosok rakyat Indonesia asli berdemokrasi. Bahkan kupikir, demokrasi itu sudah ada di tanah ini jauh sebelum dinamai begitu.
Iya, itu sebelum kami melihat hasil Quick Count di televisi. Dalam perjalanan pulang kembali ke Jakarta aku sempat membaca kehebohan merebak di media sosial tentang stasiun teve yang hanya menayangkan hasil QC memihak kemenangan salah satu kubu capres yang berbeda dari hasil kubu yang lain. Menyedihkan sekali saat mendengar dewan etik survey sampai angkat bicara menenangkan kekisruhan atas tuding-menuding hasil QC yang berbeda-beda. Segala teori konspirasi beredar cepat di akar rumput mengenai apa yang mungkin terjadi sampai KPU mengumumkan hasil resmi 22 Juli nanti.
Sampai saat aku menulis ini media masih menyorot capres yang diindikasi memanipulasi QC untuk menghibur dirinya sendiri itu. Dalam hati aku yakin dan berharap, ini semua akan berakhir damai dan baik bagi semua pihak. Teringat yang kualami di TPS kemarin, aku yakin begitulah seharusnya yang terjadi di seluruh tanah air. Rakyat sudah menunaikan hak dan kewajibannya, lho. Siapapun presidennya, rakyat yang punya kehendak. itu mungkin yang tidak disadari oleh capres yang motivasinya hanya ingin berkuasa.
Omong-omong, kalau mau lihat mental pemimpinmu yang asli, inilah saatnya. Perhatikan mana capres yang mampu bersikap tenang di saat genting ini. Dia sang diplomat itu.
I'm proud of you, Indonesia.
Seorang ibu yang baru saja datang dengan santainya tiba-tiba menyeletuk,
"Di tipi tadi saya lihat yang menang no. 1" waduh, ganggu konsentrasi aja nih si ibu.
"Ibu nontonnya tipi mana dulu?" seorang bapak spontan balas menyeletuk disusul guruh tawa hadirin. Wah, ternyata warga desa pun sudah cermat terhadap informasi, rupanya.
Lain waktu, ketika no. 1 mulai masif menyusul perolehan no. 2, seorang bapak di dekatku menyeletuk, "Itu pasti habis dikasih pulsa sama Prabowo, tuh." hadirin tertawa lagi. Aku memperoleh kesan nafas demokrasi yang dijunjung tinggi di sini. Meski keluar komentar nyinyir, tapi tidak membuat mereka tidak menghormati refleksi amanah rakyat dalam surat suara yang sedang dihitung. Yang lucu, justru ketika para petugas mendapati surat suara tidak sah. Kesal bukan main terlihat di wajah dan dari komentar spontan mereka. Ada 4 surat suara tidak sah. Satu karena tidak dicoblos. Satu karena dicoblos pada kedua capres, dicoblos di antara kedua capres dan ada juga yang mencoblos logo KPU. "Bisa nyoblos ga, sih?", "Ini pasti kerjaan orang bingung.", atau "Dia pasti terlalu cinta sama KPU". Hahaha. Well, setidaknya mereka berusaha datang ke TPS alih-alih memilih menyianyiakan suara mereka, kan?
Proses perhitungan suara selesai dalam waktu 2 jam. Aku sempat memotret hasil akhirnya setelah ditandatangani seluruh petugas dan saksi serta langsung mengunggahnya ke sosial media. Dari 462 orang dalam daftar DPT, 130 orang datang untuk memberikan suara bagi capres no.1, 168 suara untuk capres no.2, dengan 4 buah surat suara tidak sah. Meski angka golput masih mengalahkan perolehan capres no.1., ku merasa sangat lega. Tidak ada sama-sekali indikasi kecurangan seperti yang dicemaskan banyak orang. Semua pihak menerima hasil perhitungan dengan lapang dada.
Hari itu aku menyadari beberapa hal baru. Terbukti dengan kemenangan tipis pada capres no.2, warga di TPS itu memiliki semangat keberagaman yang seimbang, yang juga dibarengi kebijaksanaan untuk menerimanya dengan penuh tanggung jawab sebagai amanat. Hasil pemilu kali ini juga mencerminkan bahwa suara rakyat tidak bisa diarahkan. Seandainya isu tentang money politic itu benar dan berpengaruh, perbedaan suara bisa jadi begitu tajam. Melihat betapa kritis dan ringannya mereka menyikapi arus informasi. Betapa senangnya capres jagoanku menang. Tapi aku lebih senang lagi karena baru saja melihat sosok rakyat Indonesia asli berdemokrasi. Bahkan kupikir, demokrasi itu sudah ada di tanah ini jauh sebelum dinamai begitu.
Iya, itu sebelum kami melihat hasil Quick Count di televisi. Dalam perjalanan pulang kembali ke Jakarta aku sempat membaca kehebohan merebak di media sosial tentang stasiun teve yang hanya menayangkan hasil QC memihak kemenangan salah satu kubu capres yang berbeda dari hasil kubu yang lain. Menyedihkan sekali saat mendengar dewan etik survey sampai angkat bicara menenangkan kekisruhan atas tuding-menuding hasil QC yang berbeda-beda. Segala teori konspirasi beredar cepat di akar rumput mengenai apa yang mungkin terjadi sampai KPU mengumumkan hasil resmi 22 Juli nanti.
Sampai saat aku menulis ini media masih menyorot capres yang diindikasi memanipulasi QC untuk menghibur dirinya sendiri itu. Dalam hati aku yakin dan berharap, ini semua akan berakhir damai dan baik bagi semua pihak. Teringat yang kualami di TPS kemarin, aku yakin begitulah seharusnya yang terjadi di seluruh tanah air. Rakyat sudah menunaikan hak dan kewajibannya, lho. Siapapun presidennya, rakyat yang punya kehendak. itu mungkin yang tidak disadari oleh capres yang motivasinya hanya ingin berkuasa.
Omong-omong, kalau mau lihat mental pemimpinmu yang asli, inilah saatnya. Perhatikan mana capres yang mampu bersikap tenang di saat genting ini. Dia sang diplomat itu.
I'm proud of you, Indonesia.
Komentar
Posting Komentar