Langsung ke konten utama

Jelajah Pahatan Alam Cukang Taneuh, Grand Canyon dari Jawa Barat.

Catatan laporan perjalanan menjelajahi Green Canyon, Cukang Taneuh, 19-21 September 2014

Sobar yang Sabar
Perjalanan 18 orang yang berasal dari berbagai sudut Jakarta malam itu, Jumat 19 September 2014 di mulai dari Plaza Semanggi sebagai meeting point. Di mana tour leader kami yang lucu dari Like This Adventure, Sobar, sudah menunggu rombongan dengan sabar sampai rambutnya keriting en numbh kumis. Gak deng, kayaknya udah dari sononya dia keriting & kumisan. Saya sendiri berangkat langsung sepulang kantor masih lengkap dengan pakaian kerja dengan tas ransel di punggung berisi pakaian dan keperluan selama 2 hari ke depan. Setelah menunggu anggota rombongan lengkap, minibus Elf yang kami tumpangi pun menggelinding keluar dari area Plaza Semanggi sekitar pukul 20.30 WIB. Kurang lebih 9 jam di perjalanan melalui tol Jakarta-Cikampek, Cileunyi, terus ke Ciamis, Kota Banjar, Pangandaran, dst. Untuk rute lebih detil silahkan cek engkong gugel aja, deh. 


Pantai Batu Hiu
"Bulan di langit Batu Hiu 
Sesa purnama kamariiiiii
Bulan sapepeting nyaksi
Nyepeng rusiah, moal betus, pasti"

Itu sepenggal lirik lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi pop sunda era 90-an yang mengabadikan keindahan Pantai Batu Hiu, salah satu objek wisata di kawasan Pangandaran. Iihhh kok nyanyahoan (tau-tauan) lagu itu sih, Ling? sik atuh si mamah pan fansnya Doel Sumbang tea. heuheuheu.. skip.skip.

20 September 2014, sekitar pukul 5.00 WIB kami tiba di Pantai Batu Hiu. ini adalah destinasi pertama kami sebelum bertolak ke Green Canyon. Rencananya sih di sini mau hunting sunrise. Tapi apalah daya, sampai temaram berganti terang, awan mendung masih dengan jumawanya menyembunyikan sang surya. Etapi jangan sedih, masih ada pemandangan Pantai Batu Hiu yang merupakan pantai teluk dengan bibir pantai berupa tebing bebatuan elok bak dipahat. Memberi sensasi tersendiri berdiri di puncak tebing menghadap lansung gulungan ombak Samudra Hindia yang pecah di bawahnya. untuk sampai ke spot favorit ini, pengunjung harus mendaki anak-anak tangga di atas sebuah bukit taman penuh pohon nipah. Di sudut-sudut sepanjang bibir tebing terdapat juga gazebo-gazebo untuk duduk bersantai. Yang unik, pintu masuk bukit ini berbentuk mulut hiu dengan separuh badan hiu sebagai lorong menuju anak-anak tangga ke atas bukit tadi. Konon katanya, dulu pernah ada seekor hiu terdampar di pantai ini yang kemudian menjadi asal-usul nama pantai tersebut. 

Masih di Pantai Batu Hiu, terdapat sebuah balai konservasi penangkaran penyu. Menurut penuturan Kang Didin, ia mengasuh penyu-penyu unyu yang dilindungi itu dari mulai telur sampai dewasa atau cukup umur untuk dilepaskan kembali ke laut. Sayangnya, penangkaran ini tidak didukung pemerintah. Malah, pihak swasta yang tergerak untuk peduli memberikan bantuan. Seperti membangun tembok bagian belakang penangkaran yang sebelumnya hanya menggunakan pagar bambu. Hal lain yang diyakini Mang Didin, bahwa ke-7 jenis penyu yang masih tersisa di seluruh dunia, seluruhnya masih terdapat di Indonesia bukan hanya 6 jenis saja seperti yang diberitakan selama ini. Yaudah, Mang Didin yang sabar, yah.

Body Rafting yang penuh tantangan
Destinasi selanjutnya adalah homestay tempat kami menginap. Setelah sarapan dan mandi, kami langsung diarahkan memasang peralatan body rafting. Homestay ini ternyata sekaligus basecamp tour guide/instruktur body rafting yang akan memandu kami menjelajah Green Canyon nanti.

Cukang Taneuh atau Green Canyon (Ngarai Hijau) adalah salah satu objek wisata di Jawa Barat yang terletak di Desa Kertayasa Kecamatan CijulangKabupaten Ciamis ± 31 km dari Pangandaran. Ngarai ini terbentuk dari erosi tanah akibat aliran sungai Cijulang selama jutaan tahun yang menembus gua dengan stalaktit dan stalaknit yang mempesona serta diapit oleh dua bukit dengan bebatuan dan rimbunnya pepohonan menyajikan atraksi alam yang khas dan menantang. Untuk mencapai tempat ini, kita harus menyewa sebuah perahu kayuh dari dermaga Ciseureuh. Perjalanannya memakan waktu kurang lebih 30-45 menit untuk sampai ke Green Canyon dan kita pun sudah bisa foto-foto narsis di sana. Asik kan? 


Eh, nggak. nggak gitu. Itu info dari wikipedia, gak bisa dibilang menyesatkan sih, cuma sebuah cara yang paling mainstream untuk menikmati objek wisata Green Canyon. he he he. Sedangkan, sekarang kita mau body rafting. Apa itu body rafting? Berbeda dengan rafting menggunakan perahu karet, dalam body rafting tubuh kitalah sebagai pengganti perahu dan kita akan menyatu dengan permukaan air dan sekali-sekali di selingi dengan berjalan di tepian untuk menghindari jeram yang terlalu deras atau bagian bebatuan yang terjal dan berbahaya. Tidak perlu khawatir kalau tidak bisa berenang, karena kita menggunakan perlengkapan standartlife vest (pelampung) dan helmet, pelindung lutut dan sepatu karang (coral booties) serta di temani instruktur yang sudah berpengalaman serta mengetahui sifat dan dinamika sungai yang akan di arungi, serta dapat mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi dalam setiap pengarungan.

Dengan diangkut truk terbuka kita menuju lokasi start body rafting. Letaknya sekitar 3 km ke arah hulu. Sesampainya di lokasi start, kita diarahkan untuk melakukan peregangan otot terlebih dahulu. Rupanya lokasi start masih harus ditempuh berjalan kaki lagi sekitar 20 menit melalui semak dengan kondisi tanah menurun yang cukup curam. Tapi tidak perlu kuatir terpeleset, karena sudah dibuat undakan-undakan menyerupai anak tangga sederhana dari semen sebagai pijakan. Akhirnya sampai juga di lokasi awal.

Beberapa orang anggota rombongan sudah melompat ke dalam air. Iya, melompat, dalam arti paling harfiah dari batu yang menjorok ke air dengan jarak paling tidak 1 meter. Dan kenyataannya saya nggak berani ikut lompat begitu saja. Bagaimana kalau di bawah air yang gelap itu ada bebatuan atau benda-benda berbahaya? nooo.. saya pun memilih melipir, mencari bagian tepian yang paling landai kemudian turun pelan-pelan merayap seperti reptil. 

Di hadapan kami terpampang pemandangan alam yang menakjubkan. Sebuah celah mirip sungai dengan dinding batu dengan pahatan khas di kedua sisinya. Sementara di sepanjang aliran 'sungai' itu terdapat bebatuan mulai dari yang besar hingga kecil aneka bentuk, berpadu dengan genangan air berwarna kehijauan dan membentuk jeram-jeram di beberapa tempat. Di atasnya, berbagai tumbuhan hijau menaungi seperti 'atap'.

Setelah turun ke air, saya dan beberapa teman mengambang di permukaan air sambil berpegangan satu sama lain. Sesekali membentuk pola seperti main ular-ularan. Posisi berbaring telentang dengan kaki lurus ke depan, diikuti teman-teman di belakangnya. Orang yang paling depan ditarik instruktur agar terus bergerak. Posisi ini paling asik untuk melintasi jeram yang tidak terlalu deras. Tapi siap-siap juga kalau-kalau pantat terantuk batu yang tak terlihat di permukaan. Kadang kalau berbaring menghadap ke atas, asik juga menikmati pemandangan. Tapi nanti gak maju-maju ya, awas ketinggalan rombongan. Tapi tenang aja, nanti juga kamu diseret paksa sama instrukturnya. hahahaha. 

Salah satu pengalaman tidak terlupakan adalah berenang di bawah tebing yang menyerupai payung dipenuhi tumbuhan hijau yang menjuntai-juntai ke bawah. Dari sana juga turun titik-titik air yang tidak pernah berhenti seperti hujan abadi yang bisa langsung diminum juga. Heaven is real.

Feel the fear, but just jump!
Kalau ngaku gemar memicu adrenalin, harus coba lompat ke air dari batu-batu besar ke air dalam. Tenang aja, kalau berbahaya ya ga bakal dikasih lompat juga. Instruktur kan udah kenal persis setiap sudut ngarai ini. Lihat ke depan, jauh ke depan, jangan lihat lurus ke bawah tempat di mana kita mungkin jatuh. Itu cuma akan membuat rasa takut jadi berlipat-lipat. Teorinya gitu. Cuma, yaaa itu... hmm.... kenyataannya, saya jiper juga waktu mau coba melompat dari batu dengan ketingian 3 meter! Jadi nyesel kenapa pada kesempatan-kesempatan sebelumnya yang ketinggiannya lebih rendah gak nyoba lompat sebagai latihan. Tapi walaupun takut setengah mati, saya nekat juga. Saya copot kacamata munus saya, pemandanan jadi lebih buram mungkin membantu mengurangi rasa takut. Lutut serasa lemas begitu tiba di tepi. Sempat terpikir batal dan turun dari tempat yang lebih landai. Tapi terlambat. Tau-tau saya sudah di dalam air dan mengapung lagi dengan aman. Saya berhasil! Yay!

Melalui jeram yang agak deras juga tak kalah memicu adrenalin. Kami sempat melewati sebuah jeram yang terbentuk melalui celah berbentuk terowongan kecil. Setelah melewati lorong itu, kita akan merasa seperti terhisap ke bawah, sebelum terbawa arus menjauh dari jeram. Tentu saja, di depan sana ada instruktur yang siap 'menangkap' kita agar tidak terbawa arus terlalu jauh. 

Kalau anda tidak cukup berani untuk mencoba beberapa tantangan ekstrim tadi, selalu ada jalur lain, kok. Berenang melalui area air dalam yang arusnya tenang. Atau naik ke tepi, berjalan melalui sisi tebing. Cuma kadang menurut saya ini juga sama ekstrimnya. Kebayang gimana kalau terpeleset di celah-celah batu yang licin karena air yang terus-menerus merembes dari pepohonan di atas. ho ho ho

Satu pelajaran yang saya dapat di sini, rasa takut juga bagian dari pengalaman. Entah memilih menghadapinya atau tidak. Akhirnya jadi cerita kita sendiri. Lompat dari ketinggian membutuhkan keberanian. Orang lain hanya melihat kita melompat, tapi yang kita alami adalah rasa takut yang tertaklukkan meski sesaat.

Cukang Taneuh, pintu gerbang kemegahan alam
Mendekati bagian akhir penjelajahan ini, kami tiba di Green Canyon, atau oleh penduduk setempat dikenal dengan Cukang Taneuh. Rupanya yang dimaksud Cukang Taneuh (dalam bahasa sunda berarti Jembatan Tanah) adalah sebuah jembatan alami di mana kedua celah ngarai bertemu membentuk jembatan kalau dilihat dari atas. Atau menyerupai pintu gerbang kalau kita berada di bawahnya. Seperti dinding-dinding sepanjang sungai tadi, setiap sudut Green Canyon juga dipenuhi stalaktit-stalaktit yang masih aktif dialiri tetesan air yang mengalir abadi. Di sini juga ada sebuah batu lompatan yang legendaris bernama Batu Payung. Kalau berani, kita bisa melompat dari ketiggian batu payung sekitar 7 meter ke air. Tapi kali ini saya tidak ikutan. hampir 5 jam kami di bawah air. Tenaga sudah nyaris terkuras habis. Rasanya untuk memanjat ke atas batu itu pun saya sudah menyerah. hahaha lemah sekali motivasinya.

Inilah bagian utama dari objek wisata ini. Wisatawan yang tidak melakukan body rafting bisa langsung datang ke sini dengan mengendarai perahu dari arah hilir, pintu masuk kawasan wisata. Lewat dari sini perahu sudah tidak bisa masuk lagi. Wisatawan bisa melanjutkan dengan berenang menggunakan pelampung. Terus masuk ke dalam, ke bagian yang sudah kami lalui tadi.

Mungkin hampir 1 jam kami tertahan di sana, menunggu giliran perahu kami menjemput. tapi tidak kunjung tiba giliran kami diangkut. Aduh, sudah kedinginan, lapar pula. Setelah berembug akhirnya kami sepakat melanjutkan dengan berenang saja sampai ke dermaga terdekat. Satu hal yang harus diperhatikan, pikirkan lagi validitas informasi mengenai satuan jarak kalau kita bertanya pada penduduk setempat. Instruktur kami mengatakan jarak ke dermaga terdekat hanya beberapa ratus meter. Tapi kenyataannya, ah, sudahlah. Yang saya pikirkan saat itu hanya tubuh yang betul-betul sudah sangat lelah dan perut keroncongan. Belum lagi kami harus buru-buru menepi setiap kali ada perahu yang akan lewat. Turis-turis di atas perahu memandang antusias ke arah kami, seperti makhluk ajaib yang terdampar di tengah sungai dan layak diabadikan lewat kamera ponsel. Dan kami pun melambai dengan ramah. Saat itu, posisi kami adalah bagian dari objek wisata. :p

Pesta gorengan warung dermaga
Akhirnya kami berhasil mencapai dermaga. Di sini kami beristirahat dan mengisi perut. Makanan yang tersedia hanya camilan gorengan dan lontong isi. Ada juga mie instant kalau mau menunggu dibuatkan. Karena makan siang tidak termasuk dalam paket tur, kami menghitung makanan yang kami makan bersama-sama untuk dibuat bon. haha. Jadi makan siang kami ngutang dulu, soalnya gak ada satu pun yang bawa dompet. tercatat, kami menghabiskan 73 potong gorengan! wow.

Usai mengisi perut perahu kami datang untuk membawa kami melanjutkan perjalanan pulang ke dermaga 1 di pintu utama kawasan wisata Green Canyon. Perjalanan memakan waktu sekitar 15-20 menit. Setelah itu dengan berjalan kaki kami kembali ke homestay yang baru saya sadari ternyata letaknya dekat sekali dari sana. Setibanya di homestay kami mandi dan istirahat. Harusnya sih sore hari kami pergi ke Pantai Batukaras untuk menikmati sunset. Tapi saya memilih tidur saja setelah mandi karena keletihan. Rupanya, rencana itu akhirnya dihapuskan dari daftar karena semuanya tertidur kelelahan. haha

Minggu pagi di pantai Madasari
Meski gagal menikmati sunrise di Batu Hiu, kami berharap masih bisa menikmatinya di Pantai Madasari, destinasi kami berikutnya. Berangkat dari homestay pukul 5.30 WIB dan rupanya terlambat, matahari sudah meninggi saat kami tiba. Tapi pemandangan indah Pantai Madasari terlalu sayang dilewatkan. Meski pasirnya tidak putih, pemandangan khas pantai selatan dengan bebatuan karang di tepi dan sebuah pulau karang kecil di tengah laut, tak jauh dari pantai menghiasi keindahan pantai ini. Tenda-tenda juga nampak berdiri tak jauh dari pintu masuk pantai. Tempat ini memang dikenal sering digunakan wisatawan untuk camping. Setelah puas bermain air dan foto-foto narsis kami kembali ke homestay untuk sarapan dan bersiap kembali ke Jakarta.

Sekian catatan perjalanan saya ke Green Canyon. Thanks berat buat Like This Adventure & Sobarnya, Uwa dkk dari Kisunda Body Rafting, ibu Tety pemilik homestay, akang sopir yang mulai akrab di hari ke-3 (cie, sobar, cie), Mang Didin di balai konserpasi penyu, teman-teman Backgembels dan teman-teman dari anggota rombongan yang sempat kenalan maupun yang tidak (hai Lieke, Ajeng, Boy, siapa lagi ya ane ga inget. bahahaha) Moga ada kesempatan kita bertemu dan ngetrip lagi, ya. udah gitu aja. 

*dadah-dadah*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fall in Love or Fall out of Love

Falling In Love mengubah suatu hal menjadi indah, laki2 menjadi lebih ganteng, perempuan menjadi lebih cantik. Hampir semua pernikahan dimuali dari proses Faling In Love. Jika sesudah pernikahan kemudian diakhiri dengan perceraian, maka itu berarti Falling In Love diikuti dengan Falling Out Of Love. Tidak ada logika ilmiah yang mendukung kenapa orang bisa jatuh cinta. Banyak orang baru mengenal pasangan sebenarnya ketika sudah menikah; Padahal sebelumnya dia pacaran sangat lama.  Karena orang yang sedang jatuh cinta, meskipun dia bicara banyak, sebenarnya dia sedang membicarakan dirinya sendiri. Jadi orang yang sedang jatuh cinta itu sebetulnya sedang menerapkan konsep pasangan terbaik bagi calon pasangan hidupnya, menurut versi dia, tanpa menguji kesesuainnya. Setelah menikah, pasangan ini tidak lagi bicara banyak dibanding saat pacaran, dalam masa ini baru mereka mendengar. Dan ternyata bahwa pasangannya ini tidak sebaik dari yang diharapkannya; itu alasannya mengapa ...

Fong Sai Yuk 2: Jagoanku yang Poligami :|

Pertama kali nonton film Fong Sai Yuk kayaknya waktu masih kecil ya, tahun 90-an gitu deh. Udah ga keitung deh berapa kali ini film tayang di tv lokal. Tapi karena saat itu gue lagi khilaf, nongkrong di stasiun tivi Global TV dan antusias buat nyimak lagi film ini untuk kesekian puluh kalinya.Ternyata ya, kalo kita nonton lagi film lama, kita ga pernah memahaminya dari sudut pandang yang sama lagi. Kalau dulu gue terpukau banget sama ciamik dan lucunya acting ibu Sai Yuk, sekarang justru fokus banget ke romansa Sai Yuk dan istrinya, Ting Ting. Merupakan sekuel dari film  Fong Sai-yuk , film yang bertajuk  Fong Sai-yuk 2  (1993) ini tetap digarap oleh sutradara Corey Yuen. Film ini tentu saja melanjutkan kisah tokoh legenda Fong Sai-yuk (Jet Li) dan istrinya, Ting Ting (Michelle Reis). Mereka kini menjadi anggota kelompok rahasia penentang Dinasti Qing, Kelompok Bunga Merah ( Red Flower Society) yang dipimpin ayah angkat Sai-yuk, Chan Ka-lok (Adam Cheng). ...

Love Phobia: Bila Cinta Harus Berjarak

Seperti kebanyakan film drama Korea lainnya yang penuh dengan adegan romantis, diselingi komedi dan berakhir dengan kisah sedih menyayat hati,  Love Phobia  jelas bukan pengecualian. Namun yang menarik dari kisah ini adalah alur cerita, termasuk ide ceritanya sendiri. Meskipun tergolong ide cerita yang biasa saja, namun nampak sekali penggarapan konflik yang apik mampu membuat penonton seperti saya sabar menunggu kisah bergulir.  Jo Kang (Seung Woo Cho) kecil tengah berboncengan sepeda dengan ayahnya ketika pertama kali ia berjumpa dengan Ari Dong (Hye Jeong Kang). Saat itu ayahnya sedang menjawab pertanyaan Jo Kang tentang cinta sejati. Jo Kang merasak menemukan cinta sejatinya pada diri Ari sejak saat itu. Ari adalah seorang anak perempuan yang dikenal aneh. Kemana-mana memakai jas hujan warna kuning tak terkecuali di dalam ruangan kelas. Sebagai anak baru di kelas, Ari memperkenalkan diri sambil bercerita bahwa ia adalah anak titisan makhluk luar angkasa yang di...