Humor
adalah karya seni yang mudah dicerna dan dinikmati berbagai kalangan. Dalam
hubungan sosial, humor dapat dipergunakan sebagai intermezzo, pencair suasana sekaligus penarik perhatian yang
efektif. Tidak hanya berperan sebagai sarana hiburan, humor kini juga dikenal
sebagai medium dalam menyampaikan kritik dan pesan-pesan politis yang lebih
mengena. Dewasa ini bahkan seni humor melalui tayangan komedi yang dipersiapkan
secara terencana menjadi produk hiburan yang sangat digemari untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang mencari saat-saat eskapis di tengah kehidupan yang bingung
dan sibuk, terasing, disorientasi dan rapuh tak bermakna.
Sementara
itu menghayati, jelas bukanlah sebuah kegiatan yang sifatnya spontan dan bisa
dilakukan sambil lalu. Menghayati berarti mengalami sebuah pengalaman batiniah,
sebuah pemaknaan mendalam tentang sesuatu yang tengah dihayati. Dan karenanya
seseorang mungkin harus berhenti sejenak, bahkan berpikir dengan seksama. Melalui
menghayati humor, apakah lelucon dan gelak tawa dapat mengantarkan sebuah
pengalaman transformatif yang positif, atau hanya menjadi sekedar pelarian?
Sejarah Filsafat Humor
Humor,
berarti sesuatu yang lucu; keadaan (dalam cerita dan sebagainya) yang
menggelikan hati. Sedangkan tawa, adalah ungkapan rasa gembira, geli dan
sebagainya dengan mengeluarkan suara melalui alat ucap. Tawa merupakan ekspresi
spontan atas sebuah keadaan lucu, dan karenanya, merupakan peristiwa ekpresi
emosional natural seperti halnya menangis dan marah.
Namun,
seiring berkembangan kehidupan seorang manusia, tawa menjadi sesuatu yang
terepresi atas nama etiket dan budaya. Cukup
lama humor dilihat sebagai hal negatif, sejak era Yunani kuno hingga abad
18. Secara umum orang cenderung menganggap humor sesuatu yang remeh, bahkan
terabaikan, tidak terkecuali dalam kajian filsafat. John Morreall, seorang
teoritisi humor dalam beberapa tulisannya seperti The Philosophy of Laughter and Humor (1987) dan Comic
Relief (2009) menyebut bahwa hampir sepanjang sejarah
filsafat Barat, penilaian atas humor tidak pernah baik.
Plato
dalam Dialog Philebus (48-50) berpendapat
bahwa tertawa adalah semacam isyarat penghinaan, kedengkian, dan menikmati
kesenangan atas ketidaktahuan seseorang. Maka dalam sebuah negara ideal,
katanya, komedi harus dikendalikan. Aristoteles, meski memandang perlunya permainan kata intelektual
yg lucu (‘wit’) agar percakapan jadi menarik (Nicomachean Ethics 4, 8), ia masih cenderung menganggap humor
sebagai bentuk cemoohan, ‘wit’ adalah kekurangajaran
yang terdidik, ungkapnya dalam Rhetoric
(2, 12). Komedi diciptakan sebagai
sebuah karya seni setelah tragedi dalam kultur Yunani, sedianya diperuntukkan
bagi mereka yang menganggap Tragedy tidak memberikan efek katharsis.
Bagi
para filsuf Stoa, humor dan tawa dilihat sebagai kurangnya pengendalian diri. Enchiridion-nya Epictetus bahkan
menyarankan agar jangan tertawa dengan keras, sering, dan tak terkendali.
Di era
Kekristenan, para Bapak Gereja seperti Ambrosius, Hieronimus, Basilius atau
Yohannes Chrisostomus misalnya, umumnya menganggap tawa terbahak-bahak sebagai
gejala jiwa yang tidak tertata, dan kepribadian yang kurang bermartabat. Yohannes
Chrisostomus bahkan menyebut tertawa cenderung melahirkan obrolan buruk,
obrolan buruk melahirkan tindakan jahat seperti menyinggung, tersinggung
melahirkan tendensi melukai, melukai akhirnya bisa menimbulkan keinginan untuk
membunuh. Tradisi Gereja Katolik mengenal Santo Genisius, orang suci pelindung
para aktor dan komedian. Kisah yang ada dibalik penobatannya bukannya lepas
dari tendensi akan buruknya humor. Genesius adalah seorang aktor yang dibayar
untuk mengolok-olok ritus dan ajaran gereja. Hanya saja, mirip-mirip kisah
Budha di bawah pohon Bodhi, alih-alih melakukan pekerjaannya, tiba-tiba saja
Genisius mengalami pencerahan di atas panggung dan menyatakan diri seorang
Kristen.
Hobbes, pada Leviathan (1982 [1651]) menggambarkan kecenderungan alami manusia
untuk individualistic dan berkompetisi. Hal ini membuat kita selalu waspada
terhadap tanda-tanda apakah kita menang atau kalah. Menang akan membawa
perasaan baik, sebaliknya, buruk jika kita kalah. Dan perasaan baik selalu diisyaratkan
dengan tawa. Penjelasan senada ditemukan dalam Passion of The Soul oleh Descartes. Ia
menganggap tawa hanya sebagai ungkapan cemoohan
dan ejekan.
Teori-teori Humor
Beberapa teori mencoba menjelaskan aspek-aspek
fenomena humor bagi manusia:
Teori Superioritas (Superiority
Theory), menganggap humor
sebagai manifestasi rasa superior terhadap orang lain atau atas situasi diri
sebelumnya. Pandangan Plato, Aristoteles, sampai Descartes dan Hobbes berada di
jalur ini. Itu sebabnya, menurut Roger Scruton, orang tidak suka ditertawakan,
sebab dengan begitu ia dijadikan objek. Namun hal ini bertolak belakang pada
kasus bila kita melihat pengemis di jalanan misalnya, wajar bila kita merasa
lebih beruntung darinya, tapi umumnya kita juga tidak menertawakan dia, malah
bisa jadi kita menangis karena kasihan. Maka teori superioritas ini hanya bisa
menjelaskan fenomena tertawa pada konteks tertentu dan untuk jenis humor
tertentu.
Teori
Pelepasan (The Relief Theory), melihat tertawa sebagai
terlepasnya tekanan tertentu pada sistem syaraf, menurut Spencer pada “On the Physiology of Laughter” (1911). Teori
ini menjadi awal bantahan terhadap teori Superioritas yang cenderung negative,
dan mengubah perspektif yang lebih positif dari komedi. Bagi Freud, humor dan
lelucon membebaskan energi pada syaraf yang seharusnya digunakan untuk tugas
tertentu. Dalam humor seks misalnya, energi yang biasa digunakan untuk menekan
pikiran-pikiran tentang seks dibebastugaskan, terlepas dalam tawa. Bisa juga orang
tertawa karena energi afektif tertentu dibelokkan. Suatu ketika saya melihat
tayangan video anjing yang nampak cacat berjalan dengan menyeret kedua kaki
belakangnya. Saat itu saya merasa iba. Namun mendekati akhir durasi, anjing
tersebut mendadak bisa berlari dengan normal dan saya pun tertawa. Masalah
terhadap teori ini adalah: banyak jenis humor yang tidak terkait pada represi.
Dalam budaya Sunda tradisional banyak terdapat humor seks, sementara paham
tentang seksualitasnya tidak represif seperti dalam agama-agama besar Semitik.
Di sana humor seks tidak menunjukkan ketertekanan, sebaliknya, justru
menunjukkan kebebasan dan kelonggaran. Orang bisa juga tertawa karena permainan
kata-kata, bukan akibat tekanan.
Teori
Ketidakcocokan (The Incongruity Theory) menjelaskan humor membuat
kita tertawa bila mengandung sesuatu yang melanggar pola mental dan ekspektasi
normal kita. Ini pendapat Immanuel Kant, Schopenhauer, S.Kierkegaard dan James
Beattie. Humor jenis ini banyak digunakan oleh stand-up comedian, dengan teknik
‘set-up’ disusul ‘punch-line’: ciptakan dulu ekspektasi tertentu, lalu patahkan
di akhirnya; awalan tidak cocok dengan
akhirannya . Bagi Kant, kesenangan pada humor adalah bahwa pergeseran idea
dalam pikiran mengakibatkan perubahan permainan sensasi. Hal serupa berlaku
juga dalam permainan game (kalah-menang, untung-untungan) dan musik. Pergeseran
bertegangan antara takut, berharap, senang, marah, dsb. dalam bermain game;
perubahan nada dalam musik, atau permainan pikiran dalam lelucon, menyebabkan
tubuh ter-eksitasi, tertawa. Bagi Schopenhauer tawa akan meledak bila terjadi
ketidakcocokan antara suatu konsep dengan obyek realnya, atau suatu konsep
dengan realitas objektifnya. Humor jenis ini memang menuntut kemampuan
abstraksi. Kierkegaard melihat ‘ironi’ sebagai pertanda peralihan pola hidup,
dari pola ‘estetik’ ke ‘etik’; sementara ‘humor’ menandai peralihan dari pola
‘etik’ ke ‘religius’. Tapi yang menarik adalah bahwa ia melihat ada kesamaan
antara tragik dan komik, kedua-duanya mengandung pematahan ekspektasi dan
kontradiksi. Bedanya, pada tragik, kontradiksi itu dirasa menderitakan karena
tanpa jalan keluar , sementara pada komik kontradiksi dibiarkan tampil dan
justru dinikmati, sebab dalam pikiran sudah ada jalan keluarnya. Humor adalah
cara menikmati atau merayakan ketidakcocokan dan kontradiksi.
Teori
Permainan ( The Play Theory) memandang tindakan atau omongan
yang hanya demi kesenangan jiwa biasanya bersifat bermain dan humoris yang penting
bagi jiwa. Kata Thomas Aquinas, kesenangan adalah istirahat sang jiwa. Bahkan,
katanya, orang yang tak pernah bermain dan bercanda itu melawan akal, dan mudah
menjadi jahat. Humor melepaskan kita dari kungkungan dilema baik-buruk,
menang-kalah, sia-sia atau untung; membuat kita dapat melihat peristiwa dari
perspektif yang tepat; dan menjaga agar kita tetap lebih besar daripada
perbuatan kita sendiri atau pun daripada peristiwa yang kita alami.
Humor/komedi membangun fleksibilitas mental, seringkali berfungsi sebagai
pelumas hubungan sosial. Selain itu secara fisik pun humor dapat menurunkan
tekanan darah, detak jantung dan tegangan otot; maupun meningkatkan sistem
imunitas tubuh.
Menertawai Nasib Melalui Humor, dan
Merengkuhnya
Situasi
tragis yang menjadi humor dapat kita temui pada kisah fiksi maupun kisah nyata
yang direka ulang. Serial Tom & Jerry, misalnya. Humor yang disajikan
melalui kucing Tom yang tertimpa tangga, digigit anjing atau terjepit pipa
dalam misi menangkap si tikus Jerry dapat membawa kita dalam pengandaian bahwa
nasib memang patut ditertawakan. Dengan pola yang sama, jauh sesudahnya, saat
ini bahkan tengah menjadi tren mengisahkan pengalaman pribadi berupa rentetan
kesialan sebagai produk seni pertunjukan komedi. Kita mengenal stand-up comedian Raditya Dika dengan
tema kejombloannya yang tidak berujung, bagaimana kehebohan kisah “pocong sial”
dalam buku berjudul “Poconggg Juga Pocong” oleh
Muhammad Arief yang menjadi best seller, pada hakikatnya mengajak kita mendistorsi
tragedi dari sudut pandang bersahabat. kita bisa menggunakan frase “menertawai
nasib”, seolah, ketika kita berhasil tertawa di hadapan Sang Nasib, kita merasa
bisa menaklukkan-Nya. Kehidupan yang tidak berjalan semulus yang diimpikan,
sering kali membuat kita merasa inferior terhadap Sang Nasib yang berkuasa. Namun
saat itulah seni menemukan ironi tragik melalui humor sedianya bisa menjadi
cara kita bermain dan berangkulan mesra dengan Sang Nasib.
Di sisi
lain, mekanisme humor dan gelak tawa yang telah kita pelajari semestinya dapat
menjadi analogi yang tepat sebagai cara kita menghayati perasaan ketertindasan
oleh nasib. Nasib selalu tidak bisa ditebak pada akhirnya, sama seperti humor
yang baik. Humor yang bisa ditebak tidak bisa membuat kita tertawa. Bahkan,
kita tidak bisa tertawa berulang-ulang pada lelucon yang sama. Kita tidak bisa
menemukan kebermaknaan yang mendalam akan kehidupan ketika segalanya hanya berjalan
sesuai ekspektasi. Jika demikian, yang mungkin layak menjadi refleksi: Apakah
kehampaan kita terhadap kehidupan disebabkan oleh kecenderungan kita mengejar
kemapanan yang tidak memberi ruang pada kejutan-kejutan yang mungkin terjadi?
Jakarta, 21 Oktober 2015
Lisya Christine Ling
“Every time you are able to find some humor in a difficult
situation, you win.”
Sumber-sumber :
Comic Relief, A Comprehensive Philosophy of
Humor John Morreall, Robert Mankoff –Wiley Blackwell (2009)
Humor, Laughter and Human Flourishing (SpringerBriefs
in Education) - Mordechai Gordon (2014)
Makalah “Humor dan Homo Ridens” - Fabianus
Heatubun (2014)
Ditulis kembali sebagai arsip makalah dalam rangka Diskusi Rabuan GKA RB Salemba dalam seri "Amor Fati: Mencintai dan Merrengkuh Kehidupan" 21 Oktober 2015 dengan judul asli: Menghayati Humor: Tertawa bersama Nasib oleh Lisya Christine Ling
Komentar
Posting Komentar