Catatan perjalanan jelajah Pulau Labengki dan Sombori, 5-8 Mei 2016
Hari 1 : Jakarta - Kendari, Prelude yang Mendebarkan
Homofon dengan namanya, pemandangan Sawai dihiasi hamparan sawah hijau menguning dengan pedesaan khas. Di salah satu latar di kejauhan, nampak bangunan tambang nikel megah kemerahan. Namun siapa nyana, perjalanan Haluoleo ke Sawai terbilang ekstrim. Medan tanah merah tidak rata, terjal dan curam berkelok-kelok melewati lembah dan perbukitan. Di bawah terik jelang tengah hari, kabut debu yang dihasilkan tiap kali kendaraan melintas menciptakan suasana off-road memacu adrenalin bak di iklan-iklan kretek. Menurut info dari driver kami, keadaan seperti ini sudah berlangsung sejak setahun lalu. Bukit-bukit dibelah dalam arti sesungguhnya untuk memotong jalur yang sebelumnya harus ditempuh dengan memutar. Kelihatannya proyek ini masih terus dikerjakan, nampak dari eskavator-eskavator dan alat berat yang "nangkring" dengan posisi ganjil di puncak-puncak bukit atau di balik timbunan tanah. Tak terbayang kondisi tempat ini di musim hujan. Tidak semua orang menikmati tantangan ini. Kalau Anda tergolong mudah mabuk kendaraan, sebaiknya gunakan kesempatan ini untuk tidur saja. Itupun kalau bisa.
Terima kasih untuk Westcon-Avaya Team yang udah ngajak jalan ke Labengki, terima kasih KAKABANTRIP buat serve-nya yang okebanget, terima kasih buat Mba Endang, Mas Aris, kru ABK, Ibu Guru dan kru dapur buat masakannya yang selalu maknyus, juga teman-teman baru se-opentrip ini yang lucu, seru bin gokil, neng Raya aka Vega, Mba Silvie, Om Oki, Ci Christine, Ci Leti, Ci Yenny, dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Cheers!
Hari 1 : Jakarta - Kendari, Prelude yang Mendebarkan
Bapak, Ibu, Mbak dan Mas saya ambil bagasi dahulu
Setelah itu kita kumpul di depan meja pemesanan swiss bell
Bunyi pesan yang masuk di grup whatsapp "Labengki 05-08 Mei 2016" sesaat setelah pendaratan mulus di Bandara Haluoleo, Kendari diantar si singa merah yang secara mengejutkan tidak mengumumkan delay dengan penerbangan pagi long-weekend paling ditunggu penduduk Jakarta di 2016. Terus terang, ini penerbangan pertama saya dengan si singa terbang sejak 2004. Makanya agak deg-deg-an gimana gitu kan kayak ketemu mantan. Ciyee.. Tidak lama kemudian, sesuai aba-aba, 25 orang peserta rombongan pun segera berkumpul mengelilingi seorang wanita muda berhijab mengenakan polo-shirt bertuliskan KAKABANTRIP. Oke, ini dia tour-leader kami. Perkenalkan, Mbak Endang, yang kirim pesan di whatsapp tadi. Rekannya bernama Aris, sudah siap menjemput di gate. Usai perkenalan singkat sekaligus absensi, kami melanjutkan perjalanan menggunakan 5 minibus jenis Avanza/Xenia sewaan selama 90 menit ke Sawai. 1 mobil dikhususkan untuk mengangkut bagasi. Sawai adalah pantai sekaligus dermaga tempat kita transit dan melanjutkan perjalanan dengan speedboat.
Tepat tengah hari kami sampai di Sawa Beach Resort untuk mengisi perut sebelum menyambung perjalanan 2,5 jam dengan speedboat ke Pulau Labengki Besar tempat cottage kami berada. Dahulu sebelum dibangun cottage di Labengki Besar, pelancong biasanya menginap di resort ini sebelum menyeberang keesokan harinya. Target kami jika sempat mampir ke Gua Tobelo untuk menikmati danau dalam gua sebagai destinasi pertama. Kami berangkat dengan 2 buah speedboat. Speedboat yang saya tumpangi kapasitas mesinnya lebih besar, hingga bisa melaju jauh lebih cepat dari speedboat kedua. Sekitar 1 jam perjalanan di tengah lautan, speedboat kedua terus tertinggal jauh, bahkan cenderung nampak tidak bergerak. Penumpang kapal satu sempat menjadikan bahan olok-olokan. Tapi benda berkilauan di tengah laut yang adalah teman-teman kami itu seperti betul-betul tak bergerak. Curiga, kapten dan ABK memutuskan memutar haluan. Ternyata memang ada masalah dengan mesin speedboat tersebut. Akhirnya semua penumpang dimuat ke speedboat satu. Lagi-lagi dengan berdebar kami melanjutkan perjalanan dengan kecepatan lebih lambat karena kali ini muatan penuh. Gelap sudah turun saat kami tiba di cottage. Target meleset. Tapi welcome drink freeflow kelapa muda lengkap dengan abang-abang pengupas kelapa yang siap sedia segera membuat kami terlena. Sisa hari cukup diisi dengan mandi, makan malam dan istirahat.
Cottage kami ternyata cukup imut. gak ada mirip-miripnya sama swiss bell hotel cabang manapun. he he. Semacam bedeng sebesar 3x3 m berisi spring bed untuk 2 orang dewasa. Mengingatkan pada "Rumah Hobbit" di taman wisata Cikole, Lembang. Hanya lebih kecil. Syukurnya sudah dilengkapi kipas angin untuk mengusir udara panas. Listrik dari tenaga diesel hanya menyala pukul 17.30 sore sampai 5.00 pagi esoknya. Begitupun airnya yang payau. Penerangan menggunakan lampu tembak untuk menjangkau jarak sejauh mungkin. Hanya ada 10 bedeng yang siap huni. Kalau suka, bisa juga mencoba camping di tenda yang disediakan operator tour. Beberapa masalah yang sering timbul adalah listrik yang tiba-tiba mati, korsleting -waspada kalau tercium bau-bau angit dari arah perkakas elektronik-, air yang mengalir di MCK sangat kecil bahkan tiba-tiba terhenti tepat saat membilas busa sabun, dan kehabisan piring bersih waktu makan. Yang terakhir ini menantang kreatifitas, lho. Solusinya bilas piring bekas teman, atau nekat makan di mangkuk sayurnya langsung. Plus, di sini sama sekali tidak ada sinyal ponsel operator apapun.
Jadi inilah makan malam pertama kami di Labengki Besar. Entah karena kelelahan, faktor lauk yang segar langsung dari habitatnya, atau tangan terampil kru Ibu Guru, kepala chef di sini, makan malam yang katanya sederhana itu terasa sangat nikmat. Potongan ikan goreng sebesar stonehange (oke, ini lebay) yang mustahil Anda temui di tempat makan manapun di Jakarta, sambal yang menggugah selera dan sayur gulai nangka nan lezat. Usai makan kami di-brief untuk persiapan penjelajahan besok sekaligus welcome greeetings. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama di Labengki, seperti menjaga kebersihan dan ketertiban. Jangan berucap kasar, semua anggota tubuh harus ada di atas permukaan laut setelah maghrib khusus di malam jumat, dan jangan menggoda hewan-hewan di sekitar, terutama ayam-ayam. Yah. Padahal ayamnya jinak sekali. Sebagai penyayang ayam di tingkat afeksi (bukan tingkat piring makan. saya serius, dalam dunia perayaman dikenal istilah "ayam timang") saya kecewa sekali. Konon, empat ekor ayam yang berkeliaran di sekitar cottage merupakan ayam yang jadi "seserahan" waktu selamatan pembukaan lahan pantai ini sebagai resort. Baiklah, ayam-ayam. Kalian selamat.
Sebagai pesan tambahan untuk selalu berhati-hati saat di laut besok, Mbak Endang sempat menceritakan kecelakaan yang ia alami akibat tak sengaja menabrak "Crown of Thorn-starfish" saat asik snorkeling pada 2014 silam. Well, abis itu besoknya pas snorkeling kita emang sibuk nyari kayak apa wujud si bintang laut jahat ini sih (baca: parno). Intinya itu kalo di laut, selalu waspada akan bahaya yang tersembunyi di balik bentuk dan rupa yang cantik dan menarik ya, teman-teman. Yah, itu sih di darat juga sama kok, Mbak. Di hidup saya juga. #lahkokcurhat
Hari ke-2 : Pulau Sombori dan Pulau Sombori
Usai berburu sunrise, oke, saya belum bilang ya, jadi di sini kita gak akan ketemu sunset. Karena letak cottage membelakangi pulau. Inget kita ada di mana? iyak, Sulawesi Tenggara. Sebelah baratnya adalah daratan utama. Maka mari kita nikmati yang bisa dinikmati saja, yaitu secangkir teh manis panas dan sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi sementara sang fajar rekah perlahan di lengkung horizon perairan Labengki.
Butuh satu jam perjalanan dengan speedboat untuk mencapai destinasi kita hari ini: kepulauan Sombori. Sombori terletak di perbatasan Sulawesi Tenggara dan sudah masuk provinsi Sulawesi Tengah. Spot pertama kami adalah Tangkiri, berupa celah di antara dua pulau yang membuat bulu kuduk meremang saat kapal beringsut masuk ke tengahnya. Kami merapat ke salah satu pulau dengan pantai landai dan inilah spot snorkeling kami yang pertama. Pulau di mana kami menepi adalah teluk dengan pantai sempit berpasir putih. Agak ke tengah, bawah laut penuh terumbu karang aneka bentuk dengan ikan-ikan kecil warna warni. Kalau berenang sedikit ke arah pulau sebelahnya, kita berada tepat di atas palung gelap tak tertembus cahaya matahari. sedikit seram. Keluar dari "celah", kami berkendara lagi sekitar 5 menit menuju laguna hijau di mana kalau kita berkano di atasnya, kanonya seperti mengambang saking bening airnya. Cling! Setelah puas bermain kano dan berfoto-foto, kami bertolak menuju Gua Kristal atau disebut juga Batcave of Sombori. Gua ini terletak di atas pulau karang yang tidak terlalu besar. Aksesnya pun ternyata tidak cukup mudah. Perlu sedikit kelenturan tubuh dan kehati-hatian ekstra untuk memanjat naik melalui dinding pulau karang yang terjal dengan permukaan tajam. Dari mulut gua sudah tercium bau khas kotoran kelelawar. Lebih jauh ke dalam, gugusan stalaktit dan stalakmit yang terbentuk sedemikian rupa memperoleh penerangan mistis dari cahaya matahari yang tembus melalui lubang besar alami di langit-langit gua. Awesome! Selain laguna-laguna dan gua, masih banyak lagi potensi wisata yang belum terjamah tangan manusia di sini. Deretan pulau karang dan laguna biru terhampar sejauh mata memandang. Dan semuanya belum bernama. Sampai-sampai, kalau kita bertanya pada penduduk setempat sebutan setiap pulau yang ada, percakapannya menjadi: ini pulau apa? pulau Sombori.. itu? pulau Sombori. itu... yang di sana? ya.. Sombori juga.
Tengah hari itu kami makan siang menumpang di desa setempat. Desa dipenuhi anak-anak dan di sini ada sebuah sekolah. Rumah penduduk didirikan langsung di atas perairan. Usai makan kami sempat bertandang ke rumah ibu kepala sekolah desa Sombori. Di sini saya menjumpai kucing laut pertama. Eh. Maksudnya, kucing pertama yang saya lihat sejak menyeberangi perairan Labengki. he he. Jauh aja mainnya, pus.
Usai santap siang, bersama beberapa pemandu lokal kami mendaki Bukit Kahyangan. Letaknya tak jauh dari pemukiman penduduk Sombori. Bukit Kahyangan merupakan sebuah pulau karang yang jika kita sampai di titik tertentu di puncaknya, kita bisa menikmati pemandangan menakjubkan berupa deretan pulau karang kecil dan besar berharmoni apik dengan laguna di sekelilingnya. Namun titik itu tidak mudah saja dicapai. Bahkan bisa dibilang ini adalah treking kami yang tersulit. Tebing yang terjal dengan permukaan tajam siap mengiris kulit yang sembrono bergerak di atasnya. Kurang cermat memilih pijakan yang mantap juga bisa berakibat fatal. Saya sempat frustasi karena batu-batu itu sering tidak sekokoh penampilannya (kok kayak gue banget gitu sih. huft.). Seorang teman perempuan bahkan sempat terserang panik dan memutuskan menghentikan pendakian. Alhasil sebagian peserta di belakangnya, termasuk saya, harus mencari jalan lain yang memutar supaya tetap bisa mencapai spot favorit itu.
Usai santap siang, bersama beberapa pemandu lokal kami mendaki Bukit Kahyangan. Letaknya tak jauh dari pemukiman penduduk Sombori. Bukit Kahyangan merupakan sebuah pulau karang yang jika kita sampai di titik tertentu di puncaknya, kita bisa menikmati pemandangan menakjubkan berupa deretan pulau karang kecil dan besar berharmoni apik dengan laguna di sekelilingnya. Namun titik itu tidak mudah saja dicapai. Bahkan bisa dibilang ini adalah treking kami yang tersulit. Tebing yang terjal dengan permukaan tajam siap mengiris kulit yang sembrono bergerak di atasnya. Kurang cermat memilih pijakan yang mantap juga bisa berakibat fatal. Saya sempat frustasi karena batu-batu itu sering tidak sekokoh penampilannya (kok kayak gue banget gitu sih. huft.). Seorang teman perempuan bahkan sempat terserang panik dan memutuskan menghentikan pendakian. Alhasil sebagian peserta di belakangnya, termasuk saya, harus mencari jalan lain yang memutar supaya tetap bisa mencapai spot favorit itu.
Destinasi kami selanjutnya adalah pulau Labengki Kecil. Itu artinya 1 jam perjalanan laut ke arah kami berasal pagi tadi. Labengki kecil ini letaknya persis di seberang cottage kami. Nah, Labengki Kecil ini justru sebenarnya pulau utama di Labengki. Pulau Labengki besar tidak lebih hanya sebuah destinasi wisata. Sebagian besar penduduk bermukim di pulau ini. Perekonomian pun bergerak di pulau ini dengan adanya warung-warung yang menyediakan kebutuhan modern. Di hari-hari ketika tak ada turis, di sinilah penduduk yang mengelola cottage tinggal. Di pulau Labengki kecil terdapat dua spot wisata. Pertama, Gua Kolam Renang, yang terletak di sebuah tebing di belakang desa, berupa celah buntu yang gelap berisi air payau yang bisa ditapaki manusia. Hanya harus menggunakan penerangan bertenaga diesel jika ingin masuk. Untuk sampai ke ujung gua, pengunjung harus berbasah-basahan. kedalaman air di dalam gua berkisar 1,5-2 meter. Yang kedua, mercu suar di sisi belakang pulau. Namun sayangnya, mercu suar ini masih beroperasi dan turis tidak diijinkan naik ke menara. Hanya di pantainya saja. Kami berfoto dan bermain-main sebentar di pantai ini sebelum kembali ke cottage yang jaraknya hanya sekitar 5 menit berkendara dengan speedboat. Mungkin karena terlalu asik bermain, kami terlambat pulang. Garis air sudah terlalu jauh dari bibir pantai dan speedboat kami tidak bisa menepi. Kami terpaksa diangkut bergantian dengan kano hingga ke pantai terdangkal dengan kondisi gelap gulita. Saat turun dari kano, saya tidak sengaja menginjak karang yang rapuh. Akhirnya dapat luka saya yang pertama. Karangnya tajam sekali, lebih tajam dari lidah Feny Rose!
Hari ke-3 : Teluk Cinta Si Raja Empat
Sebetulnya spot pertama kami hari ini adalah ke Gua Tobelo, target yang meleset di hari pertama. Tapi saat kami tiba di tujuan, pasang sudah terlalu tinggi menutup mulut gua. Kembali harus merelakan spot ini sekali lagi. Kami lalu segera move on ke spot berikutnya. Yaitu Blue Hole. Blue hole adalah laguna berbentuk sumur yang sangat dalam. Dari kejauhan warnanya biru, bulat sempurna, kontras dengan air yang lebih dangkal di sekitarnya. Kami turun untuk snorkeling dan berkano di atasnya. Namun dari permukaan, melongok ke dalam "lubang sumur" jelas tidak akan terlihat apa-apa selain kegelapan. Setidaknya dilaporkan belum pernah ada yang mencoba menyelami sedalam apa Blue Hole ini. Serem juga sih. Dari spot ini kami menuju ke Bukit Kembar Tiga. Gak ada yang bisa dilakukan dengan bukit ganjil itu, sih. Cuma, dari situ berarti kita sudah dekat dengan Danau Biru, yaitu danau yang airnya berwarna biru toska yang terbentuk di dalam sebuah pulau karang. Untuk mencapai spot ini kami harus merayap di tebing pulau karang yang tajam. Kemiringan bibir danau sendiri sangat curam sehingga kita cuma bisa berfoto di tepiannya. Sambil menunggu antrian panjang itu kita bisa bermain kano atau snorkeling di sekitar kapal. Salah satu ABK kami berhasil menangkap ikan nemo, eh, ikan badut yang imut itu, lho. Tapi habis itu cepat-cepat kita lepasin karena kasihan. Pasti dia dicariin papanya, kan?
Objek eksplorasi selanjutnya adalah Tokokwei (atau Tokokulei, cmiiw) yaitu spot snorkeling unik yang akan membuat kita penasaran berenang di antara celah sempit di antara dua batu karang besar. Tentu jangan sampai melewatkan keindahan bawah lautnya, ya. Rombongan "School Fish" berkali-kali nampak melompat-lompat di permukaan. Kenapa namanya school fish? karena mereka sukanya bergerombol, seperti anak sekolah, kata Mba Endang. Puas menyisir Tokokuei, karena perut sudah keroncongan, kami pun segera naik. Kali ini kita akan makan siang di cottage di mana gulai sotong, terung masak santan dan potongan ikan goreng siap menyambut.
Rampung makan siang, kami segera berangkat ke destinasi andalan di Labengki. Apalagi kalau bukan miniatur Raja Ampat dan Teluk Cinta! Rupanya destinasi ini terletak di satu spot sekaligus dan jaraknya hanya 20 menit ke arah barat cottage, masih di Pulau Labengki Besar. Trekingnya mirip dengan saat mendaki Bukit Kahyangan di Sombori. Hanya saja jauh lebih ringan, karena sudah ada jalan setapak yang sengaja dibuat untuk mempermudah pendakian. Bahkan pintu masuknya, tepat di mana kapal kami berlabuh, sudah dipasang papan nama : Objek Wisata Raja Empat (sungguh?) dan Teluk Cinta. Di bagian dalam pulau juga ada semacam papan reklame besar bertuliskan : Welcome to Labengki Island. Sekedar peringatan, sampai di puncak jangan langsung terlena dengan pemandangan Teluk Cinta. Coba cek hp dulu, soalnya titik ini diberkahi dengan signal ponsel. Kasih kabar dulu ke mama papa dan handai taulan, kalo sebentar lagi sukses foto selfie di Teluk Cinta buat nyaingin instagramnya Nadine Chandrawinata.
Jadi ternyata yang disebut Teluk Cinta itu adalah laguna alias teluk berbentuk mirip simbol cinta: hati. Bentuk hatinya tidak betul-betul sempurna, sih. Ya apalah artinya sempurna kan, yang penting setia, toh? Bentuknya baru jelas kalau dilihat dari ketinggian bukit karang yang harus kita daki tadi. Atau, kalau difoto dengan drone pasti hasilnya lebih bagus lagi. Nah dari spot ini kalau kita nengok ke sebelah kiri, di sanalah pemandangan terkenal itu... miniatur Raja Ampat. Gugusan pulau karangnya memang tidak sebanyak yang di Raja Ampat asli. Tapi percaya deh, gak akan kecewa meski yang ini cuma KW. Buktinya foto saya meski udah dikasih caption jelas kalo lagi di Labengki, tetep aja ada yang nanya itu lagi di Raja Ampat ya? hi hi hi
Puas koleksi selfie berbagai sudut di Teluk Cinta dan Raja Empat, kita move on ke Pantai Pasir Panjang. Bentuk pantainya yang sangat panjang dengan deretan nyiur melambai sepanjang pantai. Di sini juga terdapat air payau yang kualitasnya mendekati air tawar. Jauh lebih baik dari air di cottage. Padahal pantai ini sebetulnya berada di sisi yang sama dengan cottage kami, lho. Hanya dipisahkan sebuah bukit karang dengan hutan rimbun. Moga suatu hari nanti ada akses tembus dari cottage ke Pasir Panjang ini.
Tapi sebelum kita mendarat, lepas pantai Pasir Panjang ternyata adalah spot snorkeling terindah se-Labengki Island loh. Kita snorkeling-an dulu. Ikan di sini banyak sekali dan beraneka macam. Dari ikan kecil berwarna mencolok sampai yang besar-besar. Ada juga gerombolan ikan kecil yang langsung bubar waktu kita dekati. Saya sempat asik menguntit ikan pipih hitam yang berenang berderet-deret panjang sekali. Mungkin mereka mau pergi kerja. Makin diikuti makin ke laut lepas. Eeh.. makin jauh lautnya makin dalam, pemandangannya juga gak indah lagi. Oh ya, saya juga sempat melihat ular laut di dasar. Diam tak bergerak. Bentuknya mirip lintah raksasa dengan motif indah abu-abu hitam di kulitnya. Saya lupa sebutan penduduk setempat untuk mahkluk sangat berbisa ini.
Syukurnya kami kembali tepat waktu sore ini, sebelum surut datang. Jadi kapal bisa merapat sempurna hingga ke bibir pantai. Karena hari masih terang, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan cepat-cepat membersihkan diri. Saya dan roommate, Mba Niken, memilih melanjutkan acara dengan berjalan kaki sepanjang pasir pantai di depan cottage. Saya menemukan cangkang kerang Kima seukuran tablet Samsung galaxy S.8 (maafkan preferensi aforisme saya) yang langsung saya angkut sebagai cenderamata. Menurut informasi yang sayacari di google dapat, perairan Konawe Utara memang terkenal sebagai rumah populasi spesies kima terbesar di dunia, Kimaboe, yang dilindungi dan langka karena banyak diburu. Konon Kimaboe bisa tumbuh hingga diameter 50cm dan hidup di kedalaman sampai 20m di bawah permukaan laut.
Sepiring mie goreng menemani kami duduk langsung tanpa alas di atas pasir yang sedikit basah, mengobrol sambil memandangi garis pantai yang kian menjauh sementara langit menggelap. Ini terjadi karena kami kehabisan stok pisang untuk digoreng sebagai kudapan sore. Teman-teman lain sudah bergiliran mandi. Ibu-ibu tukang masak sibuk menyiapkan perjamuan malam. Ini adalah malam terakhir kami di Labengki dan mereka berkeras menyiapkan makan malam istimewa. Lebih banyak sayur dan lauk, bahkan ada sup juga. Tak ketinggalan kerupuk dan sambal. Tentu saja ikan adalah menu yang tidak pernah absen.
Hari ke - 4 : Welcome to Tobelo, Sayonara Labengki
Saat briefing usai makan malam, ditetapkan esoknya kami masih akan memburu spot misterius kami: Gua Tobelo. Karena letaknya sebetulnya tak jauh dari cottage dan bisa ditempuh dalam waktu 10 menit. Hanya saja, kami harus pergi lebih pagi dari biasanya, berpacu dengan pasang. Kalaupun kami tiba sebelum mulut gua tergenang sempurna, kami juga tidak boleh terlambat keluar, atau kita baru bisa keluar lagi saat surut sore harinya. Hanya separuh dari kami yang memutuskan ikut. Lebih karena didorong penasaran. Sudah jauh-jauh ke sini ya, kan?
Kami berangkat pukul 6.10 pagi esoknya. Betul saja, kami masih bisa melihat mulut gua. Satu per satu kami turun dari kapal dan merayap masuk ke liang gua yang hanya berdiameter kurang dari 1 meter dengan cara berjalan jongkok. Air sudah menggenang sepertiga gua. Dasar gua juga tidak rata, sehingga kami perlu sangat berhati-hati. Di permukaan gua di atas kepala kami adalah anemon laut yang siap menyebabkan gatal-gatal jika tersentuh kulit. Setelah merayap, berjalan jongkok dan merunduk sepanjang lorong gelap sekitar 20 meter ke dalam, akhirnya kami melihat cahaya. Di sanalah Tobelo. Merupakan sebuah danau hijau di bawah rimbunan pepohonan dan tebing karang. Hanya saja, karena kami berangkat terlalu pagi, cahaya matahari belum menjangkau tempat ini. Pemandangannya akan jauh lebih indah jika hari sudah lebih terang. Tapi itu artinya kami akan melewatkan penerbangan kembali ke Jakarta sore ini. Pukul 7.30 kami sudah kembali ke cottage untuk sarapan dan bersiap kembali ke Sawai. Saya memutuskan mandi untuk terakhir kalinya di Labengki sebagai tanda 'pamit' sebelum packing. Padahal kami akan mandi lagi begitu tiba di Sawai nanti. Pukul 9.30 kami berangkat meninggalkan Labengki Besar. Sayonara, Labengki! Dalam perjalanan ini kami sempat melihat rombongan lumba-lumba di kejauhan. Seperti mengucapkan selamat jalan?
Kami tiba di Sawai menjelang tengah hari. Sambil menunggu makan siang dan teman-teman lain mandi di kamar mandi resort, saya dan Mbak Niken lagi-lagi menemukan keasyikan sendiri. Yaitu bersantai di salah satu gazebo yang berdiri di sepanjang pantai Sawai. Oh ya, kami juga sempat berpamitan dan berfoto dengan ABK kami sebelum mereka kembali ke Labengki. Usai makan siang kami langsung meluncur dengan minibus yang sama dengan yang kami naiki 3 hari lalu ke pusat kota Kendari untuk mampir ke toko oleh-oleh. Karena masih ada cukup waktu kami sempat nongkrong di "starbuck"-nya Kendari. Yaitu sebuah kedai kopi sederhana namun cukup luas yang terletak di sebuah simpang jalan raya. Bandara Haluoleo hanya berjarak 30 menit dari sini. Syukurnya penerbangan lancar meski harus transit (yang juga ditambah delay) di Makasar dan tiba di Jakarta dini harinya.
Hari ke-3 : Teluk Cinta Si Raja Empat
Sebetulnya spot pertama kami hari ini adalah ke Gua Tobelo, target yang meleset di hari pertama. Tapi saat kami tiba di tujuan, pasang sudah terlalu tinggi menutup mulut gua. Kembali harus merelakan spot ini sekali lagi. Kami lalu segera move on ke spot berikutnya. Yaitu Blue Hole. Blue hole adalah laguna berbentuk sumur yang sangat dalam. Dari kejauhan warnanya biru, bulat sempurna, kontras dengan air yang lebih dangkal di sekitarnya. Kami turun untuk snorkeling dan berkano di atasnya. Namun dari permukaan, melongok ke dalam "lubang sumur" jelas tidak akan terlihat apa-apa selain kegelapan. Setidaknya dilaporkan belum pernah ada yang mencoba menyelami sedalam apa Blue Hole ini. Serem juga sih. Dari spot ini kami menuju ke Bukit Kembar Tiga. Gak ada yang bisa dilakukan dengan bukit ganjil itu, sih. Cuma, dari situ berarti kita sudah dekat dengan Danau Biru, yaitu danau yang airnya berwarna biru toska yang terbentuk di dalam sebuah pulau karang. Untuk mencapai spot ini kami harus merayap di tebing pulau karang yang tajam. Kemiringan bibir danau sendiri sangat curam sehingga kita cuma bisa berfoto di tepiannya. Sambil menunggu antrian panjang itu kita bisa bermain kano atau snorkeling di sekitar kapal. Salah satu ABK kami berhasil menangkap ikan nemo, eh, ikan badut yang imut itu, lho. Tapi habis itu cepat-cepat kita lepasin karena kasihan. Pasti dia dicariin papanya, kan?
Objek eksplorasi selanjutnya adalah Tokokwei (atau Tokokulei, cmiiw) yaitu spot snorkeling unik yang akan membuat kita penasaran berenang di antara celah sempit di antara dua batu karang besar. Tentu jangan sampai melewatkan keindahan bawah lautnya, ya. Rombongan "School Fish" berkali-kali nampak melompat-lompat di permukaan. Kenapa namanya school fish? karena mereka sukanya bergerombol, seperti anak sekolah, kata Mba Endang. Puas menyisir Tokokuei, karena perut sudah keroncongan, kami pun segera naik. Kali ini kita akan makan siang di cottage di mana gulai sotong, terung masak santan dan potongan ikan goreng siap menyambut.
Rampung makan siang, kami segera berangkat ke destinasi andalan di Labengki. Apalagi kalau bukan miniatur Raja Ampat dan Teluk Cinta! Rupanya destinasi ini terletak di satu spot sekaligus dan jaraknya hanya 20 menit ke arah barat cottage, masih di Pulau Labengki Besar. Trekingnya mirip dengan saat mendaki Bukit Kahyangan di Sombori. Hanya saja jauh lebih ringan, karena sudah ada jalan setapak yang sengaja dibuat untuk mempermudah pendakian. Bahkan pintu masuknya, tepat di mana kapal kami berlabuh, sudah dipasang papan nama : Objek Wisata Raja Empat (sungguh?) dan Teluk Cinta. Di bagian dalam pulau juga ada semacam papan reklame besar bertuliskan : Welcome to Labengki Island. Sekedar peringatan, sampai di puncak jangan langsung terlena dengan pemandangan Teluk Cinta. Coba cek hp dulu, soalnya titik ini diberkahi dengan signal ponsel. Kasih kabar dulu ke mama papa dan handai taulan, kalo sebentar lagi sukses foto selfie di Teluk Cinta buat nyaingin instagramnya Nadine Chandrawinata.
Jadi ternyata yang disebut Teluk Cinta itu adalah laguna alias teluk berbentuk mirip simbol cinta: hati. Bentuk hatinya tidak betul-betul sempurna, sih. Ya apalah artinya sempurna kan, yang penting setia, toh? Bentuknya baru jelas kalau dilihat dari ketinggian bukit karang yang harus kita daki tadi. Atau, kalau difoto dengan drone pasti hasilnya lebih bagus lagi. Nah dari spot ini kalau kita nengok ke sebelah kiri, di sanalah pemandangan terkenal itu... miniatur Raja Ampat. Gugusan pulau karangnya memang tidak sebanyak yang di Raja Ampat asli. Tapi percaya deh, gak akan kecewa meski yang ini cuma KW. Buktinya foto saya meski udah dikasih caption jelas kalo lagi di Labengki, tetep aja ada yang nanya itu lagi di Raja Ampat ya? hi hi hi
Puas koleksi selfie berbagai sudut di Teluk Cinta dan Raja Empat, kita move on ke Pantai Pasir Panjang. Bentuk pantainya yang sangat panjang dengan deretan nyiur melambai sepanjang pantai. Di sini juga terdapat air payau yang kualitasnya mendekati air tawar. Jauh lebih baik dari air di cottage. Padahal pantai ini sebetulnya berada di sisi yang sama dengan cottage kami, lho. Hanya dipisahkan sebuah bukit karang dengan hutan rimbun. Moga suatu hari nanti ada akses tembus dari cottage ke Pasir Panjang ini.
Tapi sebelum kita mendarat, lepas pantai Pasir Panjang ternyata adalah spot snorkeling terindah se-Labengki Island loh. Kita snorkeling-an dulu. Ikan di sini banyak sekali dan beraneka macam. Dari ikan kecil berwarna mencolok sampai yang besar-besar. Ada juga gerombolan ikan kecil yang langsung bubar waktu kita dekati. Saya sempat asik menguntit ikan pipih hitam yang berenang berderet-deret panjang sekali. Mungkin mereka mau pergi kerja. Makin diikuti makin ke laut lepas. Eeh.. makin jauh lautnya makin dalam, pemandangannya juga gak indah lagi. Oh ya, saya juga sempat melihat ular laut di dasar. Diam tak bergerak. Bentuknya mirip lintah raksasa dengan motif indah abu-abu hitam di kulitnya. Saya lupa sebutan penduduk setempat untuk mahkluk sangat berbisa ini.
Syukurnya kami kembali tepat waktu sore ini, sebelum surut datang. Jadi kapal bisa merapat sempurna hingga ke bibir pantai. Karena hari masih terang, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan cepat-cepat membersihkan diri. Saya dan roommate, Mba Niken, memilih melanjutkan acara dengan berjalan kaki sepanjang pasir pantai di depan cottage. Saya menemukan cangkang kerang Kima seukuran tablet Samsung galaxy S.8 (maafkan preferensi aforisme saya) yang langsung saya angkut sebagai cenderamata. Menurut informasi yang saya
Sepiring mie goreng menemani kami duduk langsung tanpa alas di atas pasir yang sedikit basah, mengobrol sambil memandangi garis pantai yang kian menjauh sementara langit menggelap. Ini terjadi karena kami kehabisan stok pisang untuk digoreng sebagai kudapan sore. Teman-teman lain sudah bergiliran mandi. Ibu-ibu tukang masak sibuk menyiapkan perjamuan malam. Ini adalah malam terakhir kami di Labengki dan mereka berkeras menyiapkan makan malam istimewa. Lebih banyak sayur dan lauk, bahkan ada sup juga. Tak ketinggalan kerupuk dan sambal. Tentu saja ikan adalah menu yang tidak pernah absen.
Hari ke - 4 : Welcome to Tobelo, Sayonara Labengki
Saat briefing usai makan malam, ditetapkan esoknya kami masih akan memburu spot misterius kami: Gua Tobelo. Karena letaknya sebetulnya tak jauh dari cottage dan bisa ditempuh dalam waktu 10 menit. Hanya saja, kami harus pergi lebih pagi dari biasanya, berpacu dengan pasang. Kalaupun kami tiba sebelum mulut gua tergenang sempurna, kami juga tidak boleh terlambat keluar, atau kita baru bisa keluar lagi saat surut sore harinya. Hanya separuh dari kami yang memutuskan ikut. Lebih karena didorong penasaran. Sudah jauh-jauh ke sini ya, kan?
Kami berangkat pukul 6.10 pagi esoknya. Betul saja, kami masih bisa melihat mulut gua. Satu per satu kami turun dari kapal dan merayap masuk ke liang gua yang hanya berdiameter kurang dari 1 meter dengan cara berjalan jongkok. Air sudah menggenang sepertiga gua. Dasar gua juga tidak rata, sehingga kami perlu sangat berhati-hati. Di permukaan gua di atas kepala kami adalah anemon laut yang siap menyebabkan gatal-gatal jika tersentuh kulit. Setelah merayap, berjalan jongkok dan merunduk sepanjang lorong gelap sekitar 20 meter ke dalam, akhirnya kami melihat cahaya. Di sanalah Tobelo. Merupakan sebuah danau hijau di bawah rimbunan pepohonan dan tebing karang. Hanya saja, karena kami berangkat terlalu pagi, cahaya matahari belum menjangkau tempat ini. Pemandangannya akan jauh lebih indah jika hari sudah lebih terang. Tapi itu artinya kami akan melewatkan penerbangan kembali ke Jakarta sore ini. Pukul 7.30 kami sudah kembali ke cottage untuk sarapan dan bersiap kembali ke Sawai. Saya memutuskan mandi untuk terakhir kalinya di Labengki sebagai tanda 'pamit' sebelum packing. Padahal kami akan mandi lagi begitu tiba di Sawai nanti. Pukul 9.30 kami berangkat meninggalkan Labengki Besar. Sayonara, Labengki! Dalam perjalanan ini kami sempat melihat rombongan lumba-lumba di kejauhan. Seperti mengucapkan selamat jalan?
Kami tiba di Sawai menjelang tengah hari. Sambil menunggu makan siang dan teman-teman lain mandi di kamar mandi resort, saya dan Mbak Niken lagi-lagi menemukan keasyikan sendiri. Yaitu bersantai di salah satu gazebo yang berdiri di sepanjang pantai Sawai. Oh ya, kami juga sempat berpamitan dan berfoto dengan ABK kami sebelum mereka kembali ke Labengki. Usai makan siang kami langsung meluncur dengan minibus yang sama dengan yang kami naiki 3 hari lalu ke pusat kota Kendari untuk mampir ke toko oleh-oleh. Karena masih ada cukup waktu kami sempat nongkrong di "starbuck"-nya Kendari. Yaitu sebuah kedai kopi sederhana namun cukup luas yang terletak di sebuah simpang jalan raya. Bandara Haluoleo hanya berjarak 30 menit dari sini. Syukurnya penerbangan lancar meski harus transit (yang juga ditambah delay) di Makasar dan tiba di Jakarta dini harinya.
Terima kasih untuk Westcon-Avaya Team yang udah ngajak jalan ke Labengki, terima kasih KAKABANTRIP buat serve-nya yang okebanget, terima kasih buat Mba Endang, Mas Aris, kru ABK, Ibu Guru dan kru dapur buat masakannya yang selalu maknyus, juga teman-teman baru se-opentrip ini yang lucu, seru bin gokil, neng Raya aka Vega, Mba Silvie, Om Oki, Ci Christine, Ci Leti, Ci Yenny, dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Demikian catatan perjalanan kali ini. Semoga bermanfaat dan syukur-syukur menginspirasi. Mohon maaf atas salah-salah kata, typo, hiperbolis dan curcol-curcol refleks saya. Akumah apah atuh. Milikilah jiwa penuh semangat bertualang dan menjelajah, be happy. Tapi tetaplah rendah hati di hadapan alam. Perjalanan harusnya membuat kita semakin bijaksana, bukan hanya sekedar lebih gembira.
Cheers!
@Lisyeling
Jakarta, 27 Mei 2016
Komentar
Posting Komentar