Kalau kamu pernah jatuh dari ketinggian dan tetap selamat, harusnya jatuh dari tempat-tempat yang lebih rendah bukan apa-apa. Begitu kata "sang bijak" dalam diri saya. Saya telah belajar untuk mendengarkannya sejak 3 tahun terakhir dan tetap berusaha waras. Ia telah membuat saya memiliki keberanian untuk berpikir kritis, memutuskan, bertindak, menemukan diri saya sendiri yang saya pikir telah hilang lama berselang. Ia membuat saya melompat dari "lantai 25" meskipun harusnya saya telah melompat sejak di "lantai 2". Saya mempertaruhkan segala hal yang dulu saya anggap sebagai pencapaian. Apa yang seharusnya menjadi milik saya, akan tetap menjadi milik saya. Hanya orang yang tidak benar-benar memiliki yang akan mati-matian membuktikan bahwa ia berhak atas sesuatu. Tidak ada yang bisa menghentikan saya. Jika saya masih hidup setelahnya, maka tidak akan ada jenis kehilangan apapun yang tidak bisa saya tanggung.
Ada orang yang memperoleh pelajaran hidup dengan mengarungi ruang, namun ada juga yang harus melintasi waktu. Dan manusia adalah makhluk multi dimensi. Ia bisa pergi ke mana pun yang ia mau. Bertemu dengan siapapun yang ingin ditemui. Pada saat yang sama, ia bisa berada di masa depan sekaligus masa lalu. Di satu titik dalam hidup saya, saya menengok ke belakang dan menyadari dengan cara yang berbeda, segala sesuatu yang saya lakukan sekarang, akan menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya.Tapi untuk membuat perubahan arah, manusia harus tahu di mana ia sekarang. Jika saya telah memiliki apa yang tidak dimiliki kebanyakan orang (paling tidak yang berasal dari titik waktu dan ruang yang sama dengan saya), melalui banyak peristiwa yang tidak dialami semua orang, harusnya saya tidak perlu merasa berada pada posisi yang tidak akan pernah saya inginkan. Saya telah diam di satu titik ruang selama 7 tahun. Menerima semua pelajaran yang saya perlukan dan membuat semua orang tersenyum pada saya dan mengira saya telah berhasil, padahal sebaliknya.
Hari itu ulang tahun saya. Saya menemui seorang teman yang memiliki talenta sebagai seorang pewacana tarot. Saya bilang, hey, ini hari ulang tahun saya. Saya minta diramal dengan tarot secara gratis, sebagai hadiah. Teman saya melakukannya dengan senang hati. Ini bukan kebiasaan saya. Sejak kecil saya tidak pernah mempercayai hal mistis. Tapi saya juga telah belajar bahwa apa yang nampak sebenarnya hanya mewakili segala sesuatu yang tidak kelihatan. Saya hanya ingin diyakinkan akan sesuatu yang sebetulnya sudah saya ketahui. Ketika ia bertanya apa yang ingin saya ketahui, saya bertanya, apakah yang saya miliki sekarang akan bertahan lama. Hasilnya lebih mirip hiburan dari pada peringatan seperti yang saya harapkan sebelumnya. Ramalan itu terdengar seperti penjilat, memuji, namun sebenarnya mengejek. Hidup saya sempurna, katanya, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Segala sesuatu akan berada di tempatnya. Namun ramalan itu telah membuat saya menyadari, itulah yang saya ingin orang lain lihat tentang saya. Saya adalah manifestasi dari apa yang saya inginkan.
Jadi, kenapa saya harus "melompat"?
Karena saya telah mengabaikan pelajaran melintasi ruang. Saya tidak belajar dengan baik tentang orang lain, tempat-tempat, segala sesuatu yang berada di luar diri saya. Ketika saya membutuhkannya, ia harus mengajari saya dengan cara yang paling keras. Satu-satunya orang yang hatinya saya miliki berada di luar sana, membagi satu-satunya ruang yang seharusnya hanya milik saya. Saya tahu sejak awal dan mengabaikannya dengan sempurna. Orang lain bicara tentang bukti, tapi insting perempuan tidak bekerja dengan cara logis. Ketika perempuan menatap mata seseorang, tidak ada yang bisa disembunyikan darinya. Tidak cinta, tidak juga pengkhianatan.
Saya mendengar lelucon tentang botol minum yang akan selalu dibawa pulang ke rumah meski isinya dinikmati di luar. Itu analogi konyol yang awalnya bisa saya terima. Bukankah saya juga menikmatinya dari botol yang sama? Lelucon itu hanya bisa diterima kalau saya punya punya botol minum lain. Saya mencoba berdamai dengan realita. Saya dikhianati oleh komitmen yang saya ciptakan sendiri. Orang yang terikat di dalamnya, tetaplah makhluk multi dimensi dengan kehendak bebas. Jika saya tidak sungguh-sungguh ingin ada di sini, maka saya akan menunjukkannya. Mengapa harus pura-pura? Jika saya harus belajar dari orang lain, maka orang lain itu pun harus belajar dari apa yang saya lakukan. Ya, orang lain. Orang yang telah berjalan bersama saya dalam ruang dan waktu yang sama untuk waktu yang lama, akhirnya tetap menjadi orang lain. Meskipun yang disebut akhir itu tidak pernah benar-benar ada.
Perjalanan saya melintasi ruang pun dimulai. Saya melangkah dengan ringan setelah menerima semua konsekuensi dari sebuah lompatan yang mengerikan. Saya merasa tidak punya beban lagi tentang waktu. Pandangan saya menjadi jauh lebih jelas tentang arah. Saya yakin apa yang saya pelajari di masa lalu akan membantu saya melintasi masa depan di tempat-tempat yang asing. Kadang saya menetap lagi di satu tempat dan mempermainkan waktu, tapi mendapati diri saya berkali-kali jatuh dari tingkatan yang lebih rendah dari sebelumnya. Namun tetap merasa sakit. Hidup seperti lelucon. Benar kata orang bijak, apa yang pertama kali terjadi adalah tragedi. Kedua kali jadinya komedi. Seperti cerita para koruptor yang tertangkap. Lama-lama orang akan terbiasa.
Belum lama ini saya ditantang lagi oleh sang ruang. Rupanya masih ada yang harus saya pelajari tentang memiliki dan kehilangan. Saya mendapat kabar bahwa saya sudah bisa menemukan tempat yang lebih baik untuk bekerja. Sekali lagi saya harus merelakan ikatan saya terhadap rutinitas yang saya cintai: tugas-tugas, rekanan, tempat tinggal, buku-buku, kucing kesayangan, serial tv favorit. Saya bicara pada Sang Bijak, sekarang apa lagi? Kamu harus melanjutkan perjalanan ruang, saya mendengar jawaban. Persetan. Emosi memenangkan otak saya. Saya ingin pulang! Saya memiliki tabungan yang cukup untuk tinggal di kota sampai saya memperoleh pekerjaan berikutnya. Tapi saya memutuskan tidak akan melakukan apa-apa untuk segera memulihkan keadaan. Saya akan pulang. Saya ingin lihat apa yang bisa diperbuat oleh nasib untuk memaksa saya menuruti apa maunya. Saya akan buktikan saya punya kehendak sendiri. Namun hati kecil saya mengerti, kadang saya yang memutuskan untuk melompat, atau akan ada yang mendorong. Ini disebut "yang tak terhindarkan".
Saya bisa membaca semua buku yang belum sempat saya baca. Menghabiskan waktu di studio musik dengan papa. Berkeliling kampung dengan sepeda motor butut. Bercengkrama konyol dengan ayam-ayam peliharaan mama. Bergosip dengan para perempuan. Mengunjungi kerabat-kerabat lama. Melakukan semua hal yang tidak bisa saya lakukan kalau bukan libur dari pekerjaan. Sesekali saya memang menerima tawaran untuk wawancara, referensi dari saudara dan kolega. Tapi usaha saya hanya sedikit. Memang tak banyak teman yang tahu kondisi saya. Jika saatnya tiba, saya hanya akan bekerja di bidang yang sama sekali asing bagi saya. Saya tidak ingin membawa kepingan dari masa lalu untuk membangun masa depan saya. Obsesi saya benar-benar berada di titik kritis. Bagi saya kompetensi itu omong kosong. Sekali lagi saya mempertaruhkan apa yang disebut orang sebagai pencapaian. Saya pernah menjadi wirausahawan juga jadi karyawan. Tidak ada yang bisa mengancam saya dengan rasa lapar. Persetan dengan kemapanan. Bukankah saya harus melanjutkan perjalanan menjelajahi ruang? Tanpa sadar, saya sudah melakukannya.
Seorang yang nyaris sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan saya mengusulkan saya tinggal di rumahnya untuk sementara waktu ketika saya akhirnya menerima pekerjaan baru. Di pagi hari sebelum saya berangkat kerja ia membawakan secangkir teh manis panas ke kamar saya meskipun saya selalu mengatakan tidak perlu karena saya bisa membuatnya sendiri kalau saya mau. Di malam hari, ia akan memastikan saya sudah kembali dengan selamat dan menawari saya makan malam. Suatu kali, saya berjalan ke arah lemari kaca tempat ia biasa menyimpan lauk makan malam untuk keluarga dan para karyawannya. Saya mendapati sebuah stiker tertempel di sana dengan tulisan tangan: "Jangan lupa ditutup. Kucing tau." Saya tertawa geli. Mungkin maksudnya agar semua orang yang telah mengambil makan malam agar menutup kembali pintu lemari kaca itu agar tidak didatangi kucing pencuri lauk. Si kucing pasti cukup pintar hingga kalau ia sudah menemukan tempat mendapatkan makan malam, ia pasti akan kembali kalau pintunya terbuka. Atau, setiap kucing memang cukup pintar. Tapi setiap kali saya ke sana dan menemukan stiker itu, yang ada di benak saya adalah seorang asing baik hati yang sudah berlaku seperti ibu saya sendiri. Dan saat-saat seperti itu selalu mengingatkan saya akan kisah Nabi Elia yang meninggalkan tanah Israel dan menumpang di rumah seorang janda di negeri lain. Ketika saya pergi ke tempat asing entah bagaimana saya tetap menemukan rumah untuk pulang. Karena saya menemukan orang yang menerima saya di hatinya, lebih dulu sebelum ia menerima saya di rumahnya.
Apa yang seharusnya kita miliki, akan selalu kita miliki.
Saya bisa membaca semua buku yang belum sempat saya baca. Menghabiskan waktu di studio musik dengan papa. Berkeliling kampung dengan sepeda motor butut. Bercengkrama konyol dengan ayam-ayam peliharaan mama. Bergosip dengan para perempuan. Mengunjungi kerabat-kerabat lama. Melakukan semua hal yang tidak bisa saya lakukan kalau bukan libur dari pekerjaan. Sesekali saya memang menerima tawaran untuk wawancara, referensi dari saudara dan kolega. Tapi usaha saya hanya sedikit. Memang tak banyak teman yang tahu kondisi saya. Jika saatnya tiba, saya hanya akan bekerja di bidang yang sama sekali asing bagi saya. Saya tidak ingin membawa kepingan dari masa lalu untuk membangun masa depan saya. Obsesi saya benar-benar berada di titik kritis. Bagi saya kompetensi itu omong kosong. Sekali lagi saya mempertaruhkan apa yang disebut orang sebagai pencapaian. Saya pernah menjadi wirausahawan juga jadi karyawan. Tidak ada yang bisa mengancam saya dengan rasa lapar. Persetan dengan kemapanan. Bukankah saya harus melanjutkan perjalanan menjelajahi ruang? Tanpa sadar, saya sudah melakukannya.
Seorang yang nyaris sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan saya mengusulkan saya tinggal di rumahnya untuk sementara waktu ketika saya akhirnya menerima pekerjaan baru. Di pagi hari sebelum saya berangkat kerja ia membawakan secangkir teh manis panas ke kamar saya meskipun saya selalu mengatakan tidak perlu karena saya bisa membuatnya sendiri kalau saya mau. Di malam hari, ia akan memastikan saya sudah kembali dengan selamat dan menawari saya makan malam. Suatu kali, saya berjalan ke arah lemari kaca tempat ia biasa menyimpan lauk makan malam untuk keluarga dan para karyawannya. Saya mendapati sebuah stiker tertempel di sana dengan tulisan tangan: "Jangan lupa ditutup. Kucing tau." Saya tertawa geli. Mungkin maksudnya agar semua orang yang telah mengambil makan malam agar menutup kembali pintu lemari kaca itu agar tidak didatangi kucing pencuri lauk. Si kucing pasti cukup pintar hingga kalau ia sudah menemukan tempat mendapatkan makan malam, ia pasti akan kembali kalau pintunya terbuka. Atau, setiap kucing memang cukup pintar. Tapi setiap kali saya ke sana dan menemukan stiker itu, yang ada di benak saya adalah seorang asing baik hati yang sudah berlaku seperti ibu saya sendiri. Dan saat-saat seperti itu selalu mengingatkan saya akan kisah Nabi Elia yang meninggalkan tanah Israel dan menumpang di rumah seorang janda di negeri lain. Ketika saya pergi ke tempat asing entah bagaimana saya tetap menemukan rumah untuk pulang. Karena saya menemukan orang yang menerima saya di hatinya, lebih dulu sebelum ia menerima saya di rumahnya.
Apa yang seharusnya kita miliki, akan selalu kita miliki.
Komentar
Posting Komentar