Hampir genap lima tahun usia peziarahan ini. Kalau diingat-ingat. Dulu, yang aku inginkan hanya sekedar selamat. Ya, selamat dari "kematian". Dari kehidupan yang tidak pantas disebut kehidupanku sendiri. Tujuh tahun sebelumnya menjadi orang yang tak kukenali. Lalu aku berjanji pada diri sendiri, aku tidak akan hidup dengan cara yang sama lagi. Caraku berpikir, caraku memandang kehidupan dan menjalaninya. Sebetulnya cacatan kali ini adalah sebuah ungkapan penuh kebaperan, kalau tidak bisa mirip sebuah jurnal.
Setelah masa-masa transisi yang euforostik itu, aku lebih sering pulang ke rumah, menghabiskan waktu bersama orang tua. Ya, ke mana lagi. Bekerja juga jadi bagian kehidupan yang paling membantu secara spiritual selain melakukan konsolidasi dengan segala hal yang tujuh tahun lalu pernah terabaikan. Aku nyaris tidak pernah mengkuatirkan kelangsungan hidupku sendiri. Sampai-sampai aku berpikir begini, aku tidak butuh lagi membuktikan apapun sekarang. Karenanya aku bisa menjalani semua sesukaku, sekarang. Beberapa bulan setelah keputusan berat itu, aku mendapat tawaran bekerja di sebuah kantor penerbitan kecil di daerah Kemang, setelah perkenalan dengan pemiliknya, kami bersahabat. Saat itu nyaris tidak ada pertimbangan sama sekali. Saat pada suatu kesempatan aku bertanya pada seorang teman yang tarot reader tentang karir, ia tertawa keras dan mengejekku. Tidak ada yang kau kuatirkan tentang pekerjaan, kau sudah memutuskan. Tapi siapa itu pria berkemeja putih yang sedang dekat denganmu? Aku pun geli. Sudahlah, kamu tahu tak ada garis asmara dalam takdirku. Saat itu memang ada satu orang pria dalam pikiranku, hanya aku merasa kami sedang "berpapasan" saja. Untuk suatu alasan, ia muncul dalam mimpi sebagai pertanda. Bukannya terlalu mistik, hanya teringat kata-kata seorang bijak: bukankan hidup itu jadi lebih menarik ketika dekat dengan impian?.
Aku mendapat banyak sekali pengalaman ketika bekerja di sana. Aku mengerjakan banyak hal, bertemu dan berkenalan dengan penulis dan calon penulis bagus, menghitung laporan penjualan dan menghitung royalti mereka. Bahkan aku juga mencari gedung baru untuk memindahkan lokasi kantor yang sudah habis masa kontraknya. Aku menemukan lokasi bagus dengan harga terjangkau, merenovasinya bersama Pak Supri, orang kepercayaan atasanku. Dia sangat baik dan serba bisa. Suatu hari dia juga membantu aku memindahkan barang-barangku dari rumah pamulang ke cisoka. Mencari mobil sewaan dan menyetir untukku. Oh ya, aku juga pindah kosan dari grogol ke ampera, dekat lokasi kantor lama. Jadi aku cuma tinggal jalan kaki ke kantor. Sayang harganya terlalu mahal dan kamarnya terlalu besar, dilengkapi dengan akses balkon dan ber-ac. Di akhir pekan aku selalu pergi, entah menginap di cisoka atau di Mataram. Di Mataram masih ada Kimmoy waktu itu. Kalau menginap di Mataram, aku bisa janjian ketemu Mr. Dream. Si pria dalam mimpi yang perkenalan dengannya terjadi 4 bulan setelah mimpi itu. Dia juga penyayang anjing, dan kami bisa bermain bersama Kimmoy di sana. Kimmoy meninggal karena tertular distemper dari anak anjing yang baru dibeli Daniel sebulan sebelumnya, yang juga mati karena penyebab yang sama.
Tidak ada yang abadi. Rupanya jodohku di penerbitan itu tidak berlangsung lama. Satu tahun setengah kemudian pemiliknya ingin memutuskan hubungan kerja denganku. Tidak yakin dengan apa yang terjadi sebetulnya. Segala spekulasi sempat muncul, tapi aku tidak ingin banyak berdebat. Karena pemecatan dilakukan di bulan yang sama, aku berpikir cepat untuk pindah ke Mataram untuk mengirit sisa uang di tabungan. Dan lagi, aku harus segera mencari pekerjaan lain. Aku menghabiskan empat bulan menganggur sebelum memutuskan bekerja di sebuah perusahaan distributor jam tangan referensi dari Yani. Sayang aku cuma bisa bertahan tujuh hari di sana. Kemudian aku bekerja di sebuah perusahaan konsultan manajemen di daerah Tanah Abang. Karena sudah cukup stabil, aku memutuskan kembali kost. Entah kenapa ingin sekali kembali kost di grogol. Beberapa teman masih tinggal di sana. Aku kembali dekat dengan Sendi, tetangga kamar. Dia pernah datang ketika aku undang ke acara launching buku Nedera di JACC Senayan sewaktu aku masih di penerbitan.
Setahun lebih aku bekerja di konsultan menejemen itu, ketika papa jadi semakin sering sakit-sakitan. Aku sering ijin untuk mengurus papa yang harus bolak-balik RS. Sendi banyak mendengarkan keluh kesahku selama masa yang berat itu. Absensiku dipertanyakan, bahkan aku sempat mendapat SP dari kantor. Bukan karena absensi sebetulnya, tapi karena kesalahan yang terjadi saat bekerja. Saat itu, beban biaya pun semakin banyak seiring banyaknya kebutuhan. Suatu saat Sendi menawarkan pekerjaan untukku di kantornya. Aku coba saja karena di perusahaan MNC, aturan absensi tidak begitu ketat. Aku bisa lebih fleksibel mengatur waktu bekerja dan mengurus keperluan papa. Sulit dipercaya, aku diterima! Aku pun sangat menyukai pekerjaan ini. Hanya saja, tiga bulan kemudian papa meninggal ketika menjalani kemoterapi untuk limfomanya.
Aku menjalani masa yang sangat berat sewaktu mengurus papa yang sakit. Hanya aku dan Yani. kami bergantian menunggui di RS. Tapi lebih banyak hal menuntut kutangani sendiri. Aku sering menangis dan marah-marah sendiri karena beban yang harus kutanggung. Papa ingin penyakitnya segera sembuh. Kalau perlu dengan operasi, secepat dan sesingkat mungkin. Tapi kami tak punya cukup uang. Aku mendaftarkannya BPJS. Kami mendapat referensi untuk berobat di RSU Tangerang. Tapi penyakit dan kondisinya bukan jenis yang perlu perawatan inap sampai betul2 sembuh. Ia hanya dirawat sebelum dan sesudah biopsi. Setelah itu kami harus pulang dan sempat menunggu lama untuk analisa hasil biopsi. Waktu itu aku masih di konsultan menejemen. Papa di rumah, aku mengambil hasil biopsi. Vonis limfoma, tapi belum diketahui apa itu kanker ganas atau bukan. Jadi kami harus mengirim sampelnya ke RS Pusat Kanker Dharmais. Karena kami pasien BPJS, kami harus mengantri sejak pkl 4 pagi. Ketika sudah saatnya bertemu dengan dokter untuk konsultasi, kami disarankan membawa pasien. Bayangkan segala perkara yang harus kami tanggung untuk mendatangkan pasien yang sudah sangat menderita itu ke Jakarta. Waktu itu, mama yang ikut mengantar sempat terkena serangan kram jantung sampai harus dilarikan ke RS Sumber Waras. Kami, dua anak yang masih muda dan tak punya tabungan yang berarti, bagaimana kami bisa menanggung semua ini? Semangat hidup papa yang memaksa kami tetap berjuang. Aku ingat orang-orang yang sangat berjasa karena berdiri bersama kami saat itu. Indra, seorang sahabatku yang paling dekaat denganku saat itu, sempat menunggui papa di RSU Tangerang. Dia bahkan selalu datang di pagi hari untuk membawakan sarapan dan mampir di sore hari sepulang kerja untuk membawakan makan malam. Kalau dipikir-pikir, tidak adil memang kalau aku bisa menghitung-hitung siapa saja yang ada di saat-saat terburuk kita. Memang benar, ada sahabat di saat senang, dan di saat susah. Dan pilihan mereka itu bukan saja hak mereka, tapi juga cara terbaik alam ini memberitahu kita, siapa kita di hadapan seorang yang kita akui sahabat.
Setelah itu pandanganku terhadaap persahabatan tak begitu banyak berubah. Aku masih percaya dengan persahabatan tulus. Meskipun aku tahu, bahkan Indra tidak punya niat yang tulus, dan dia jujur tentang itu. Bagaimanapun, aku memilih tidak mengambil keuntungan secara tidak adil. Ia yang sudah menikah, berjanji akan meninggalkan kehidupannya jika aku bersedia bersamanya. Tidak ada keuntungan tanpa pengorbanan sepadan. Tapi bukan itu yang aku inginkan. tak peduli seberapa besar keuntungan yang bisa aku dapatkan, tidak akan ada artinya kalau itu kudapat dari merebut milik orang. Apakah kebaikan tidak bisa diciptakan saja? Tidak bisakah kita memulai semuanya sama-sama dari titik nol? aku sadar, itu juga tidak adil buatnya. Aku tidak pernah meninggalkan kapal lama setelah ada kapal baru. Aku melompat ke laut tanpa perhitungan, berenang-renang tanpa arah dan kalau perlu membangun kapalku sendiri. Aku hanya ingin bersama dengan orang yang memahami semua itu. Setelah segala persyaratan duniawi tidak mampu merayuku, kemapanan, kebaikan dan bantuan tanpa-bayar-di muka, aku percaya sudah tak ada orang yang cukup paham dengan khayalan gilaku tentang hal ideal.
Aku juga bergabung dengan komunitas gereja yang mengedepankan idealisme. Kuharap tak ada yang tertawa. Jadi aku masih berusaha keras dengan khayalan tentang dunia yang ideal. Para pria di sini, ya, di sini kebanyakan adalah pria. Aku bisa paham kalau para wanita sudah sangat sibuk hidup di dunia nyata. Dan aku sudah tidak peduli entah bisa disebut tak nyata atau bukan wanita. Ada sebuah peristiwa yang kemudian mempengaruhiku juga tentang idealisme. Jadi, suatu kali, aku mendapat pernyataan cinta dari seorang anggota komunitas. Ia pria yang baik, beberapa waktu kami sering pulang dan pergi bersama karena rumah kami searah. Aku betul-betul tidak menyangka sebelumnya. Aku pikir awalnya, karena aku tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun, aku bebas membuka kesempatan kisah cinta yang baru. Di sisi lain, juga ada orang dari komunitas yang sama mendekatiku. Ketika kami ada sebuah acara, saat itu hujan sangat deras, semua orang memutuskan ikut di mobil. Sementara aku yang sudah waktu pergi menumpang dengan si pria satu, berpikir tentu pulang harus bersama juga. lagi pula kami searah. Kami ber-4, aku dan si pria dan dua orang lain yang juga mengendarai motor menunggu hujan reda sementara yang lain sudah pergi dengan mobil. Termasuk pria ke-2 yang juga sedang dekat denganku. Kami biasa saja saat itu. Beberapa waktu kemudian gosip merebak, kalau aku sangat menyukai pria-1 karena aku memaksa menemaninya untuk pulang bersama saat hujan itu. Membayangkan betapa aku rela menunggu hujan reda hanya untuk pulang bersama. Aku tidak terima karena aku belum memutuskan apapun. Aku juga tak mau si pria-1 salah paham. Ketika hal ini dipertanyakan, si pria 2 jelas berpikir hal sama dengan seisi mobil saat itu. Aku bahkan dituduh hanya memanfaatkan si pria-1 jika ternyata kami tidak pacaran. Ketika aku mendiskusikan ini dengan si pria 1, yang kukira lebih bijaksana, ia pun ternyata sepakat dengan pandangan semua orang. Padahal saat itu aku hanya berpikir bukankah ini common sense? kau berangkat bersama dengan seorang teman, dan ketika pulang kau bersama dengannya lagi. Tidak, menurut mereka, kalau kamu sahabatnya, kamu harus meninggalkannya menunggui hujan seorang diri, kamu harusnya pulang bersama penumpang di mobil. Jadi poin yang sangat terlambat aku sadari di sini adalah, tidak ada kebaikan yang tulus dari seorang lelaki. Kau hanya perlu memilih yang mana. Yang berarti juga, tidak ada hubungan yang tulus. Kedua, ketika kamu memilih bersama seseorang, tidak peduli apa alasannya, itu hanya berarti, kau memilih seseorang dan tidak yang lain, dan selalu berarti kau menginginkan sesuatu. Sebuah ironi yang terjadi di tempat yang aku kira penuh dengan orang paling idealis yang aku kenal di muka bumi. Aku pun kemudian mulai mempertimbangkan menjadi skeptis.
Saat ini aku menjalin hubungan dengan salah satu dari mereka. Sampai di mana tahap hubungan kami? tebak saja, aku bersama si pria 2. hahaha. Aku tertawa untuk diriku sendiri. Tapi tenang saja, ini tidak menghalangiku untuk tetap memimpikan pasangan jiwa, seorang dengan kebaikan yang tulus karena ia memang ingin berbuat baik. Tapi setelah kupikir-pikir ada baiknya juga lho, memilih bersama seseorang yang berpikir sebuah hubungan itu harus ada apa2nya. Ia akan baik padaku dan mempertimbangkan perasaanku dibanding orang lain, karena ia ingin bersamaku. Kita lihat saja nanti, ya. Aku pun harus belajar menjadi manusia biasa. Bukankah ini sangat mudah? Sementara itu soal kebaikan, kau masih bisa lakukan itu pada orang yang menghargainya. Tidak pada orang seperti lelaki 1 itu.. Yah, sama seperti memilih presiden, aku hanya memilih yang paling less evil. Dalam hal ini, orang yang tidak menerima kebaikan dan kemudian salah mengartikannya dengan memilih sudut pandang orang kebanyakan. Dan masih bertanya-tanya, bukankah ini normal?
Aku masih berpikir, aku susah dijelaskan. Aku ini susah dimengerti. Jadi tak perlu berusaha keras. Karena di duniaku sudah tidak ada sekat-sekat, semua orang berhak melakukan apa saja dan tidak ada yang akan berubah atau harus diubah. Kita hanya akan bertemu dengan orang yang kita perlu untuk bertemu. Entah kita atau mereka yang punya kepentingan. Jika pelajaran sudah usai, semuanya akan berlalu. Seperti aku dengan si Mr. Dream. Seberapa lama pun dan seberapa besar usahaku untuk bersama dia dan mencari jawaban tentang arti mimpi itu, saat waktunya sudah lewat, segalanya menjadi jelas dengan sendirinya. Intinya, yang akan terjadi pasti akan terjadi. Kalau kamu punya usaha spesifik untuk memahami aku, mungkin itu ada gunanya. Tapi tetap saja segalanya akan membuat kamu mendekat, menetap atau sekedar lewat tanpa bisa ditahan. Semuanya tergantung kamu, dan jangan pernah menyalahkan orang lain. Karena itu tidak ada gunanya. Misalkan, kamu kehilangan seseorang karena menurutmu dia tidak seperti yang kau pikirkan, bisa jadi itu karena kamu lah yang gagal berada satu frekuensi dengannya, gagal memahami sudut pandangnya, gagal memahami dia. Dan tidak ada gunanya berpikir dia yang salah atau rugi karena kehilangan kamu, karena chance-nya pun sama besar denganmu. Bisa jadi malah kamulah yang rugi karena kehilangan kesempatan belajar dari dia yang sulit dipahami itu. Aku sendiri, apa patokannya aku masih percaya diri dengan idealisme itu? kebaikan.. aku percaya dengan niat baik. Niat baik memurnikan hati, membuat segalanya terasa ringan, membuatmu tidak merasa perlu memperoleh balasan sepadan. Membuatmu merasa itu tidak perlu diakui. Kau hanya melakukannya karena ingin dan ada orang yang memerlukan. Sama seperti ketika aku menerimanya dari orang-orang yang bahkan tak sempat kubalas. Jika segala hal harus ada balasan dan alasannya, maka kebaikan universal adalah faktor keseimbangan kosmik yang lebih bebas karena mengalir ke segala penjuru, mengisi ruang kosong manapun yang ia temui. Aku percaya kalau kau berusaha hanya menyeimbangkan semesta kecilmu sendiri, justru itu akan semakin tidak stabil.
Mungkin ini dulu tafakur lima tahunanku. Mengaitkan dengan judul, itu diambil dari baris pertama lirik lagu "Rise" milik Katy Perry. I wont just survive. Itulah kondisi aku sekarang ini, aku cuma baru sampai di tahap survive saja. Masih ada tahap lain yang ingin kuraih. Bukannya serakah, aku menjalaninya tidak terburu-buru, kok. Bambu cina itu tumbuh 3 tahun di bawah tanah sebelum muncul di permukaan. Dan karenanya bambu sangat kuat diterpa angin keras sekalipun. Tapi aku sedang menunggu masa-masanya "but still, I rise" Kita tunggu saja, ya. Berkati aku. Amin.
Berikut ini video lirik dari lagunya supaya bisa langsung diresapi. Halah.
Komentar
Posting Komentar