A little bit story, mengenang sewindu pembaptisanku….
Setiap acara pembaptisan pasti memiliki kesan berbeda bagi setiap orang yg mengalaminya. Tapi akan beda kesannya kalau pembaptisan itu terjadi pada masa menjelang dewasa, bukan semasa kanak2. Dan itulah yang terjadi pada saya, 8 tahun lalu. Sebagai seorang remaja kelas 1 SMA… inilah sebuah cerita kecil saya. Semoga bisa menjadi inspirasi atau hanya sekedar refleksi iman menjelang natal ini.
Perasaan saya mungkin hampir sama dengan puluhan calon baptisan yang hadir di gereja Bunda Hati Kudus, Kemakmuran, Jakarta, minggu pagi 22 Desember 2002 itu. Legggaaaaaaa…. Setelah stahun penuh menjalani masa2 katekisasi menjemukan yang nyaris membutakan iman (lebayyyyy).
Bersama Alfi Yusrina, sohib seperjuangan yang waktu itu masih kelas 5 SD (maaf, klo salah inget y, fi!!). Berusaha kusyuk menjalani tahap demi tahap prosesi sakramen pembaptisan kami.
Ritual terus berlanjut, upacara kucuran air pun sudah selesai.. Pemandangan selanjutnya menarik perhatian saya. Di meja Altar bertumpuk puluhan salib kayu dg Corpus Crist (baca:Tubuh Yesus) khas Katolik yang siap dibagikan kepada para baptisan. Tapi tidak seragam jenisnya. Sebagian salib Corpus Crist-nya terbuat dari logam berwarna silver dan bisa digantung di dinding. Sedangkan sebagian lagi bermodel standing table dg Corpus Crist berbahan fosfor berwarna putih kehijauan yang saya jamin pasti bisa 'Glow in The Dark' (rasanya gimana, gitu klo nyebut istilah ini.. heheh)
"Waahh.. gw mao tuch yang model begitu..."Kata saya spontan, dalam hati tentunya. Sudah kebayang itu salib mau saya taruh di sebelah patung fosfor Bunda Maria di altar kecil Oma saya di rumah. Haha. Koq sempet2nya kepikiran ini ya??
Tapi ternyata yang dibagikan lebih dulu adalah salib 'silver'.. sedangkan saya duduk di barisan depan gitu, lah. Apalagi kalau diliat2, ternyata salib inceran saya itu jumlahnya cuma sedikit. Sudahlah, apa aja deh. Bisik saya pasrah sambil mengikuti barisan mengular menuju altar.
Ketika baptisan di depan saya menerima salib 'silver'nya dengan khidmad, saya sudah benar2 melupakan keinginan saya membawa pulang salib 'Glow in the Dark' tadi. Saya pun maju, masih dengan kepala tertunduk dan kedua telapak tangan terkatup rapat di depan dada. Tapi, ketika saya mendongak, terheran-heran dengan mata terbelalak dan mulut menganga (jangan dibayangin, yah) tak percaya, entah bagaimana caranya si salib 'Glow in The Dark' sudah mendarat mulus di kedua telapak tangan saya.
Teman saya mengumpat sirik ketika tahu saya dapat salib yang berbeda, tapi rupanya sudah terjadi kesalahan. Petugas yang membagikan baru menyadarinya ketika sudah lima buah salib tertukar. Antrian selanjutnya kembali mendapat jatah Salib 'silver'. tapi salib yang saya punya tentu tidak diminta dikembalikan. Hanya saja, dasar bocah, kelompok baptis remaja sempat terjadi sirik2an. haha.
Insiden kecil itu mungkin hanya sebuah kejadian kekeliruan biasa. Tapi buat saya, tidak. saya mengalami 'sentuhan' Tuhan di hati kecil saya. saya bilang saya mau, tapi saya tidak minta pada Tuhan. Tapi saya diberi. Nah, lho?
Sesaat sebelum prosesi Pembaptisan dimulai, saya berdoa pada Tuhan Yesus yang baru benar2 saya kenal setahun ini. Bahwa satu2nya hal yang membuat saya bersedia melalui semua ini adalah kerinduan saya untuk dekat dan akrab dengan-Nya seperti seorang sahabat. Dan jika saya tidak merasakan itu saat ini, mungkin semua prosesi ini hanya akan menjadi simbol tidak bermakna seumur hidup saya. (wajar gak sih idealisme gini di umur segitu? hehe)
Sudah nangkep maksud cerita saya?
Tolong jangan salah paham dulu, pesan cerita di atas bukanlah tentang perjuangan saya memperoleh salib 'Glow in The Dark' sesuai keinginan saya.. haha.. becanda, deng. Saya cuma mau berpesan, bahwa ternyata Tuhan pun memiliki kerinduan yang sama dengan kita, menjadi dekat dan akrab, seperti sahabat yang peduli, mendengarkan, memperhatikan kita, bahkan pada hal paling sepele sekalipun, dan bahkan tanpa kita pernah mengatakan langsung pada-Nya.
Punya sahabat dekat? pasti pernah kan, ngerasa menangkap isi hatinya padahal dia belum cerita apa2. Kita bisa tahu dia sedang sedih, senang atau sedih pura2 senang... dll. Terus kita pun mau menyampaikan padanya bahwa kita empati pada perasaannya meski tidak tahu kenapa. Tul, gak? So, apalagi Tuhan.
Jadi, sejak saat itu saya memahami iman sebagai persahabatan dengan Tuhan Yesus. Jauh melebihi semua ritual sakral keagamaan, Litani panjang-panjang, doktrin yang kita junjung tinggi, aturan baku dan birokrasi gerejawi yang anti-langgar. Kita memang membutuhkan semua itu sebagai 'alat bantu' untuk menyesuaikan diri duniawi kita dengan Hadirat Tuhan yang memang dari dulu gambarannya kudus damai itu.
Sekian dulu ceritanya, Terimakasih untuk yang sempat baca. Apabila ada kata2 yang kurang berkenan, menyinggung atau dirasa tidak nyaman, mohon dimaafkan. Dan selamat mempersiapkan hati menyambut Natal!!!!!
Akan selalu saya ingat, Romo Adri Budi, MSC dan Romo Ian; Guru pembimbing katekumen : Ibu Tina (Bruder Will) dan Ibu Eveline; Alfi Yusrina : teman seperjuangan (keep spirit buat mengejar cita2mu Scholarship to Canada, Chayooo!!!!); Pak Harry Kosasih & Ibu Ratna Kosasih, terimakasih telah menerima saya di lingkungan paling yahud (Hidup, St.Ursula!!!);Ibu Baptisku, Lucia Lenny Djohary; Mama-Papa buat doa dan dukungannya; My Lovely Emak (Oma) Alm. Merry Djohary (I miss u so much); Tante Ririn u/ baju putihnya yang walaupun mirip gamis, tetap saya pake; Special Thanks to Om Willy Djohary buat segala dukungan & cintanya u/ saya. Serta semua orang terkasih yang berperan dalam pembaruan hidup iman saya.
Jesus Bless Us.
Komentar
Posting Komentar